Post-Mo : A World We Need
Penulis : Azhar Azizah, penulis abal-abal, penyuka buku, dan kopi.-
Saat ini kita hidup dalam keadaan yang huru-hara, yang serba canggih, dan serba modern. Orang-orang setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik berlalu-lalang mencari atau sengaja mencari kesibukan ke segala arah, ke segala penjuru. Setiap hari orang-orang mampu bereksistensi dalam setiap jam, menit bahkan detik pada apa yang dilakukannya. Namun ini semua hanya kepuasan yang bersifat sementara, tetapi setiap orang selalu membutuhkannya.
Demi bisa hidup di zaman seperti ini. Setiap orang tak lagi memikirkan esok ingin masak apa, harga beras, minyak, sayur, dan garam di pasa, karena semua itu sudah tersaji dalam aplikasi yang bernama go food, grab food, atau shopee food daripada masakan ibu di rumah yang lebih nganggur. Dan setiap orang nyatanya dan butuhnya lebih memikirkan harga kuota internet, harga baju di toko online, harga sepatu, handphone, dan outfit lainnya supaya tak tertinggal zaman agar terlihat trendy. Setiap orang tak mau tenggelam dalam ketersituasian diri yang mengikis dimensi orisinalitas diri. Setiap orang mengantisipasi keterjebakan dalam hiper-realitas, di mana mereka tak bisa membedakan mana kehidupan nyata dan mana kehidupan fiksi. Setiap orang membutuhkan pujian atas karyanya, setiap orang memerlukan pangkuan dalam ceritanya tanpa lupa berterima kasih kepada sang pemangku cerita yang selalu siap mendengarkannya, setiap orang mengikis satu-satu tembok yang ada di hadapannya, setiap orang mulai melakukan terobosan keberanian, setiap orang mulai mendobrak rantai cengkramannya hanya dengan melalui sebuah media.
Meskipun seperti itu, mereka akan kembali lagi ke dalam peradaban dirinya, kembali lagi dalam keadaan hampa, menjadi pencari yang tak tahu apa yang di carinya, mencari ketidakpastian, kembali dalam keadaan yang sunyi, yang entah mengapa, ini semua adalah satu kombinasi kemunafikan yang terpampang nyata, sebuah kepalsuan yang dilakukannya sendiri. Namun mereka menginginkannya. Setiap orang kembali merindukan cerita dari dunia yang tak pernah lagi bisa mereka miliki. Dunia yang ada di depannya hari ini, membuat mereka berangan-angan untuk bisa menyingkir dari huru-hara, berada di suatu tempat yang jauh, yang sunyi. Mereka kadang bermimpi, untuk sehari saja tidak menyentuh gadget dan memilih diam, berangan dan berpikir seperti Nietzsche, atau bersenang-senang dengan sesuatu apapun asal tanpa menggunakan alat bernama 'media'. Tentu saja, itu semua hanya angan-angan. Tak ada yang mampu meninggalkan dunia yang telah mereka pegang hari ini, dunia yang penuh kemudahan, penuh kecanggihan, penuh kemewahan agar bisa hidup di tengah segala keterbatasan dan kesederhanaan yang seadanya saja. Ini adalah dunia praktis, dengan segala kebutuhan dan kepalsuan yang mereka ciptakan, semua orang rela meninggalkan apapun yang telah usang, yang telah kuno, mitos, kepercayaan, bentuk dan tradisi budaya tidak bisa lagi dijadikan sebagai acuan 'cermin realitas', karena pangku realitas itu sekarang berada di iklan, film, video game, video youtube, yang semuanya terkombinasi menjadi satu dalam sebuah alat dengan nyawa atau jiwa yang baru bernama 'handphone, smartphone, iphone', atau apapun.
Baru-baru ini aku membaca buku karya Okki Madasari tentang 'Kerumunan Terakhir', dari awal paragraf saja aku sudah bisa mengenali, sebenernya ia ingin menampilkan tentang sebuah dunia baru, dunia yang dibutuhkan orang-orang, dunia yang orang-orang tunggu. Semua orang berkerumun, sesuai dengan genre yang dimilikinya. Entah ini kerumunan ke berapa, atau mungkin saja ini kerumunan terakhir seperti yang dikatakannya? Ini adalah gambaran dunia yang mereka idamkan, Okki berusaha mengenalkan kepada pembaca arti sebuah dunia yang "Post-Modern" atau aku biasanya menyebutnya sebagai "Dunia Post-Mo".
Dengan adanya Post-Mo ini, ketika orang-orang hidup dalam keadaan hiper-realitas. Dalam sekejap pun Post-Mo ini menciptakan perasaan orang-orang dengan segala macam rasa keterasingan, rasa tidak aman dan ketidakpastian mengenai identitasnya, berada dalam skeptisme, ketidaktahuan sejarah, kemajuan dan kebenaran dalam dirinya. Sekejap memberi kemewahan, dalam sekejap lagi memberi keterasingan. Kita berbicara satu sama lain, tanpa pernah bertatap muka secara langsung. Kita sedang berimplikasi pada realitas media, bukan realitas sosial. Bahkan untuk hidup dalam sebuah dunia yang individualis, kita bahkan tak mengenali diri kita sendiri, karena kita terus meng-ada dalam banyak rupa, bukan mengada-ada seperti yang Heidegger cita-citakan, kita hidup dalam kapasitas pencitraan digital, sampai-sampai kita bertanya sendiri "siapakah sosok diri kita yang sebenarnya?". Semua tampak asing, namun semua itu kita butuhkan. Kita menyamar, menyerupa dalam berbagai hal. Kecanggihan teknologi telah memberikan kita kenyataan sekaligus kepalsuan. Budaya-budaya baru yang ada hari ini telah menggatikan budaya leluhur yang lama yang telah dianggap usang atau kuno. Budaya baru itu mencangkup pengklaiman, kritikan, pujian, disiplin logika, serta sanjungan yang semua itu lebih kita butuhkan dibanding memikirkan perbaikan moral dan kerusakan alam sendiri.
Post-Mo hadir memberikan dampak positif sekaligus negatif bagi manusia. Post-Mo mengklaim bahwa di mana ketika kita terus-menerus tenggelam dalam media maka media tersebut adalah realitas yang baru untuk kita. Inilah era Post-Mo, dunia Post-Mo dengan segala kehebatannya, dunia Post-Mo dengan segala keterasingannya. Post-Mo adalah dunia abstrak, dunia tanpa arah, dunia yang kita butuhkan.
Komentar
Posting Komentar