Feminisme Indonesia dan Jendala Feminisme Islam

Mengenal Feminisme Indonesia dan Esensi Feminisme Islam


Sebelumnya, saya ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada dosen/Ibu Siti Nadroh yang telah menyumbangkan aspirasi, peran intelektual, keterbukaan pemikiran mengenai wacana-wacana feminisme selama mata perkuliahan Relasi Gender berlangsung. Tanpa beliau, mungkin tulisan ini tidak hadir. 

Kita sadar bahwa feminisme barat memang dilahirkan atas sebuah refleksi terhadap situasi kapitalisme yang ada [Baca : Feminisme Marxisme], dan juga kentalnya budaya patriarki itu sendiri sehingga menyebabkan adanya ekses budaya yang seksisme dengan menitikberatkan pada aspek biologis [Baca : Feminisme Radikal]. Namun jauh sebelum itu, kelahiran emansipasi Indonesia agaknya jauh lebih utama dibanding kelahiran emansipasi dan feminisme di Barat. Jauh sebelum perempuan barat berkembang, beberapa perempuan Indonesia telah hadir sebagai pelopor pergerakan, dari mulai tokoh dan juga gerakan-gerakannya sebagai bentuk reaksi atas ketidakadilan sosial yang dihadapi perempuan-perempuan pada masa itu. 

Misalnya, pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara (Indonesia) berkembang, muncul para srikandi-srikandi hebat yang ikut serta dalam melakukan pembaruan dalam bidang internal (kerajaan) dan bidang eksternal (kesejahteraan masyarakat). Meskipun jumlah mereka sedikit, namun keberhasilannya membuat mereka lebih dikenal umum sebagai tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam lingkungan masyarakat bahkan sampai menjadi cerita rakyat.

Misalnya pada masa itu, ada beberapa kerajaan-kerajaan Nusantara yang dipimpin dan dipelopori oleh perempuan, aku tak akan menyebutkan secara keseluruhan, tetapi di antaranya seperti Ratu Shima, raja perempuan pertama yang menjadi penguasa di Kerajaan Kalingga pada tahun 674M-695M, Sanggramawijaya Dharmaprasodotunggadewi yang merupakan tangan kanan Airlangga, Tribhuwana Wijayatunggadewi, raja putri Kerajaan Majapahit tahun 1328-1351, Ratu Wa Kaa Kaa dari Kerajaan Buton yang memimpin dari tahun 1332-1366, Nyi Roro Kidul sosok juru selamat yang menjaga eksistensi Kerajaan Mataram. Sebetulnya, banyak versi lain yang menggambarkan sosok Nyi Roro Kidul. Ia sebagai hal nyata yang 'digaib-gaibkan' atau terkadang hal gaib yang dibuat seakan nyata. Namun mengenai eksistensinya sendiri, entah mitos atau fakta, Nyi Roro Kidul adalah ekspresi ideal penggambaran wanita perkasa, lalu terdapat pemaknaan istilah Bundo Kanduang yang ada pada masyarakat suku Minangkabau, yang merupakan gambaran peran perempuan sebagai sosok yang tak hanya kuat tapi juga menguatkan. Dalam Bahasa Indonesia, Bundo Kanduang biasa diterjemahkan menjadi Bunda Kandung. Namun pendefinisian 'Ibu Sejati' merupakan padanan kata yang lebih tepat untuk menerjemahkan arti Bundo Kanduang. Maka tak heran, banyak definisi yang menyebutkan perempuan dikenal dengan istilah 'Ibu Peradaban' (mother of life).

Masuk pada masa Penjajahan (Belanda), muncul tokoh-tokoh perjuangan perempuan lainnya. Meskipun peran dan kedudukan mereka agak berbeda dengan tokoh perempuan pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, tetapi esensi yang kita lihat pada dasarnya bukan itu. Seiring berkembangnya waktu, perempuan hadir sesuai dengan situasi yang ada, gerakan perempuan pun juga hadir dengan situasi yang sedang melingkupinya. Pada masa ini, aku bisa menyebutkan muncul dua tipe perjuangan perempuan. Pertama, perjuangan perempuan di medan perang dan kedua, perjuangan perempuan di bidang pendidikan. Di medan perang misalnya, seperti yang dilakukan oleh Cut Nyak Dien, yang merupakan sosok yang ditakuti oleh Belanda. Karena mampu mengobarkan semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia ikut berperang langsung bersama para pejuang melawan penjajah, terutama suaminya Teuku Umuar dalam memimpin perlawanan melawan Belanda yang tak gentar. Ada pula Cut Meutia dan Martha Christina Tiahahu yang tak gentar dalam menghadapi penjajahan dan perlawanan kolonial Belanda. Selain itu, ada pula Laksamana Keumalahayati yang mampu melawan kapal dan benteng Belanda sekaligus membunuh Cornelis de Houtman yang terjadi pada tanggal 11 September 1599 dan Andi Depu yang berhasil mempertahankan wilayahnya dari penaklukan Belanda. Tak hanya itu, ia juga dengan berani mengibarkan bendera Merah Putih saat pasukan Jepang datang di Mandar pada tahun 1942. 

Di bidang pendidikan misalnya seperti yang dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini, salah satu sosok perempuan nasional Indonesia yang sangat berpengaruh dan tak asing lagi di telinga kita. Baginya, Setiap orang berhak merdeka dan mendapatkan kemerdekaannya, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpikir sebagai wujud dalam melakukan perubahan yang lebih baik, salah satunya melalui sistem pendidikan yang kemudian di galakkan dan dikembangkan oleh Kartini sendiri. Maka inilah yang nanti akan menjadi fokus utama Kartini dalam karyanya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” atau dalam bahasa Belandanya “Door Duisternis Tot Licht”. Selain Kartini, terdapat tokoh-tokoh perempuan pribumi lainnya yang sadar akan perlunya pengetahuan dan pendidikan, hal ini seperti yang dilakukan oleh Raden Dewi Sartika, Rasuna Said dan Maria Walanda Maramis. Selain itu zaman kaum perempuan mulai bergerak di Indonesia dibuka oleh pikiran R.A. Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan seperti Putri Mardika (1912), Jong Java Meiskering, Wanita Oetomo, Wanito Muljo, serta Aisyiyah (1917). Pembentukan Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPI) pada Kongres Perempuan I tahun 1928 bisa menjadi indikator kuatnya gerakan perempuan di masa pra-kemerdekaan.

Langkah-langkah Kartini dan perjuangan perempuan pada masa itu sampai saat ini masih menjadi acuan bagi pergerakan perempuan di Indonesia. Kehadiran mereka sebagai agen of change of sosio-culture ikut serta dalam memberikan sumbangsih pergerakan dan pemikiran yang besar bagi bangsa Indonesia dan bagi perempuan sendiri pada masa penjajahan.

Masuk pada masa Orde Lama, ciri khas perjuangan perempuan ini lebih di tonjolkan dalam hal berdirinya organisasi-organisasi perempuan yang berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia. Misalnya Pawijatan Wanito di Magelang (1915) dan PIKAT (Perantaraan Ibu Kepada Anak Temurun) yang dibentuk di Manado (1917). Selain itu, di Surabaya juga Poetri Boedi (1919), dan munculnya Wanita Marhaen yang merupakan kepak sayap politik dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Perkembangan organisasi perempuan semakin tampak setelah lahirnya Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada tahun 1945 yang merupakan “reinkarnasi” dari organisasi, yaitu Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) yang didirikan pada tahun 1928, Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (Kawi). Tidak hanya itu, organisasi lain yang juga muncul adalah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang beraliran komunis. Pada masa orde lama, selain organisasi gerakan keperempuanan, muncul juga beberapa nama perempuan yang berkiprah dalam bidang politik, antara lain Kartini Kartaradjasa dan Supeni dari PNI. Dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo) juga memiliki tokoh perempuan yaitu Walandauw. Demikian di Partai Nadhlatul Ulama juga ada nama Mahmuda Mawardi dan HAS Wachid Hasyim. Sementara itu, Salawati Daud dan Setiati Surasto sebagai tokoh aktivis perempuan merupakan tokoh perempuan terkenal dari fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Masuk pada masa Orde Baru, organisasi-organisasi perempuan Indonesia masuk ke dalam organisasi fungsional. Mereka mengalami proses domestikasi dengan implikasi terjadinya penjinakan, segregasi, dan depolitisasi. Hal ini semakin menunjukkan bentuknya setelah Dharma Wanita (1974) dan Dharma Pertiwi (1974) diresmikan sebagai organisasi istri pegawai negeri sipil dan istri anggota ABRI. Organisasi perempuan kini memasuki periode “tidak ada perlawanan” terhadap diskriminasi dan eksploitasi yang dialami kaum perempuan di Indonesia. Organisasi perempuan bentukan Orba telah mereduksi peran perempuan sebatas tiga I (Istri, Ibu, dan Ibu rumah tangga) yang tersubordinasikan dalam konotasi “Kodrat” yang feminim. Sebagai ilustrasinya perempuan pada masa Orde Baru dikembangkan melalui sistem “Ibuisme” oleh negara dalam memperlakukan perempuan Indonesia. Oleh karena itu, kemudian muncul program negara bagi perempuan seperti PKK, Panca Dharma Wanita, dan sebagainya. 

Masuk pada masa Reformasi, demokratisasi yang dijalankan serta merta membuka kesempatan bagi kaum wanita Indonesia untuk memperjuangkan kembali kesetaraan gender di setiap tingkat. Kemajuan ekonomi, teknologi, dan pendidikan yang diperoleh kaum wanita sejauh ini, menjadikangerakan wanita lebih mandiri dari intervensi pemerintah. Terbukanya peluang tersebut, dimanfaatkan oleh gerakan wanita Indonesia untuk perubahan yang lebih baik. Misalnya seperti gerakan Muslimat dan Fatayat yang merupakan organisasi wanita otonom Nahdlatul Ulama. Langkah mereka tidak hanya meliputi satu bidang saja, tetapi gerakan mereka juga menyentuh berbagai segi kehidupan dalam masyarakat, misalnya keterlibatan mereka dalam bidang politik diwakili oleh Muslimat NU. Dimana Muslimat telah aktif terlibat dalam percaturan politik sejak pemilu pertama Indonesia digelar pada tahun 1955.

Namun jauh sebelum emansipasi perempuan Indonesia hadir dan kelahiran feminisme barat berkembang. Feminisme Timur lebih utama dalam memainkan peran dan eksistensinya dalam kancah dunia. Feminisme barat mungkin lahir pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 dan puncaknya berada pada periode Perang Dunia II. Tapi jauh sebelum itu, feminisme timur telah lahir di dunia pada masa Khalifatullah, Rasulullah SAW. Hal ini dapat dibuktikan dengan kehadiran para istri Rasulullah, yaitu Khadijah binti Khuwailid, dan Aisyah binti Abu Bakar sendiri, dan masih banyak yang tokoh-tokoh feminisme pertama lainnya. 

Berangkat dari islam, maka tak dapat di elakkan pula jika kelahiran feminisme Timur juga merupakan kelahiran feminisme Islam. Berangkat dari Islam sebagai ajaran agama, maka tak dapat di elakkan pula bahwa Islam pun sudah membawa keadilan kepada setiap insan, kepada laki-laki dan perempuan, kepada ras, suku dan bangsa. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan daripadanya masing-masing. Hal ini sudah diterangkan dalam firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13. 

Islam memberikan solusi peradaban baru terkait dengan 'gender equality'. Maka dalam hal ini bisa dikatakan bahwa ISLAM pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin JAUH LEBIH MAJU, baik dari segi ajaran maupun budaya/peradaban.

Amina Wadud menawarkan bahwa tafsir ayat-ayat gender dalam Al-Qur'an menekankan pada hermeneutika feminisme yang social justice, inheren, anti patriarki dan menunjukkan bahwa Al-Qur'an melegitimasi tindakan kesetaraan dan keadilan gender [Baca : Qur'an and Woman, Rereading the Sacred Text From a Woman's Perspektif] Nasaruddin Umar juga mengatakan perlunya melakukan kritis-interpretasi Al-Qur'an tanpa menghilangkan ke-orisinalitas Al-Qur'an itu sendiri untuk memahami ayat-ayat yang berkeadilan gender. Ia merasa prihatin ketika kontruksi budaya membuat masyarakat cenderung melakukan legitimasi atas nama hukum agama diterima sebagai jawaban yang mutlak dan tidak boleh di kritisi, sehingga ini mudah menjadi boomerang tersendiri bagi agama. Maka, hal ini perlu dicermati bahwa, kehadiran Islam tidak hanya memperbaiki praktik-praktik ketidakadilan gender sebelum Islam, namun juga memiliki visi revolusioner dalam menentang pandangan sistem patriarki yang kental sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah sendiri, para istri dan juga para feminis muslim lainnya. Namun ketimpangan gender yang terjadi seringkali terjadi atas nama agama atau dalih doktrin keagamaan. Sehingga pemahaman masyarakat cenderung keliru dan terburu-buru, yang kemudian berakibat pada agama yang seringkali disalahkan sebagai sumber utama ketertindasan perempuan. 

Sekian,

--

Azhar Azizah ; penulis abal-abal, yang hobinya mikir. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Bung

Post-Mo : A World We Need

Catatan Hitam, Lembar 1 : Memahami Anarkisme Alexander Berkman