Untuk Bung
Untuk Bung, yang aku pun tak tahu, kau membaca pesan ini atau tidak.
Bung benar. Pada akhirnya kita berakhir dengan sama-sama tak baik-baik saja. Sekarang aku sedang mencoba berpikir, bagaimana caranya membangun kembali hubungan kita untuk tetap baik-baik saja seperti dahulu. Memasang wajah untuk baik-baik saja atau pura-pura baik di depanmu.
Barangkali benar, mungkin aku memang salah. Tindakanku terlalu berlebihan, sehingga kau tidak menyukainya. Maaf, jika itu memberatkanmu, aku tak bermaksud. Harusnya aku mengerti apa maumu.
Harusnya, jika memang kau takut kehilanganku, bung. Kau simpan saja perasaanmu sendiri tanpa perlu ku ketahui, kau harusnya jangan mengirim surat padaku, kau harusnya jangan bilang bahwa kita punya selera musik dan buku yang sama. Nikmati saja keindahan dan ketidakberdayaan itu sendiri tanpa perlu ku ketahui,
Sedang, ketika semua itu ku afirmasi, kau seringkali menghilangkan kebiasaan itu. Tak ada obrolan lagi tentang musik-musik, buku-buku, atau teori-teori sains dan agama. Karena satu : Kau takut, aku menyukaimu terlalu dalam dan serius,
Harusnya aku bersikap pragmatis saja sepertimu sejak dulu. Jadi tidak ada siapa yang berjuang dan siapa yang tidak berjuang.
Jika kau jujur dan tegas, sebetulnya aku akan lebih menjaga sikap. Namun masalahnya, kau tidak berdaya untuk mengungkapkan kebenaran, kau hanya diam, ketakutan, tak bicara sesungguhnya. Sehingga seluruh jawabanmu hanyalah kosong, sebab aku tak menemukan apa yang ku cari. Semua terasa kontras dengan sikapmu yang tak mau melepaskan aku, disamping kau tak mau kita melangkah terlalu dalam, bung.
Jika aku boleh egois, maka kau adalah orang paling munafik, pecundang, tak punya keberanian untuk berusaha mengungkapkan kebenaran. Meskipun itu sama saja menyakitkan, tapi setidaknya tidak akan lama dibanding kau terus menutupi sesuatu dariku dan tak mengafirmasi pikiran-pikiran negatif ku, bung.
Tapi sudahlah. Sepertinya aku terlalu banyak bicara. Lebih baik, kita lupakan saja semua. Barangkali apa yang dulu pernah terjadi pada kita, itu cuma lelucon atau cerita fiksi yang mangkir di kepala.
Maaf, nyatanya tindakanku terlalu sulit dinafikan untuk bersikap tak peduli terhadapmu, bung. Sebab semua yang ku lakukan adalah valid. Tapi benar katamu, aku harusnya muncul lebih dulu, supaya kita tak pernah ada dalam kondisi yang seperti ini. Tapi nyatanya, kita tak punya mesin untuk membalikkan waktu.
Aku percaya kau menyayangiku, bung. Tapi penolakan beserta ketakutan-ketakutanmu, ketidakberanianmu terhadapku, aku jadi menganggap itu hanya kalimat majas yang klise yang sering diucapkan dalam buku novel atau buku bahasa Indonesia anak sma.
Aku tak mengharapkan sesuatu apapun darimu, tapi rasanya aku sangat yakin dan benar, bahwa kau sudah menutupi sesuatu dariku. Aku bicara, bukan semata-mata tak punya bukti yang jelas, nyatanya, banyak bukti-bukti yang muncul kepadaku yang kau tutupi dariku. Kesalahan paling besar untuk tidak bisa membuatku mempercayai atau menjamin kita memiliki sebuah relasi yang dekat seperti dulu lagi.
Maka dengan begitu bung, nikmati saja kekecewaanku padamu dan terima kasih telah mengajarkanku untuk mulai bersikap pragmatis dan bertambah skeptis untuk mempercayai seseorang.
Oh ya,
Sebaiknya, kalau kau masih punya urusan dengan masa lalu, selesaikan saja terlebih dahulu. Tak usah bawa-bawa orang lain ke dalamnya. Sebab itu sangat merepotkan. Aku tidak mau menjadi perusak atau apapun itu yang mengecewakanmu. Aku hanya ingin kita tetap mempunyai relasi yang baik,
Dan terakhir, aku sekali lagi tak mengharapkan apa-apa. Namun, aku ingin kau tahu sesuatu. Jika kau ingat lagu Creep, kisah Ellie and Joel, film The Reader, dan alunan violin Schindler's List, itu artinya aku sedang sedih atau mengingatmu.
Terima kasih dan maaf.
Nyatanya aku hanyalah ketakutan-ketakutan yang mangkir dikepalamu, yang membuatmu tak punya nyali, keberanian bahkan tak berdaya.
Dariku,
Yang kau panggil 'Dara'.
Komentar
Posting Komentar