Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2021

Feminisme Untuk Trend (Gaya Hidup)

  Jangan Mengaku Paham Feminisme: Kalau Hanya Untuk Gaya Hidup Agar Terlihat Keren Saat nongkrong di warung kopi. Aku seringkali melihat perempuan entah itu yang memakai kerudung atau tidak, datang membawa bir yang dibelinya di luar, lalu dengan garangnya mereka kadang-kadang memantik api rokok di depan kawan-kawannya, tertawa keras, bicara soal feminisme, baik kepada kawan laki-laki maupun perempuannya. Ini ada dan sering aku temui ketika sedang asyik nongki di salah satu kedai kopi atau di emperan warung kopi sekalipun. Aku melihatnya sungguh keren, gagah dan berani, dan aku tiba-tiba merasa menciut dan merasa "gak ada apa-apanya". Aku iri jujur saja dengan perempuan-perempuan yang seperti itu. Bukannya tak bisa meniru, tapi itu adalah pilihan. Dan aku masih memilih diriku untuk biasa-biasa saja seperti ini, kuno? Tak asik? Tak menarik? Tak ada gregetnya? Yasudah tak apa, lagipula itu juga pilihan.  Okelah, kalau cara itu dilakukan atas dasar kehidupannya yang memang sudah ...

Beban Moral Para Pekerja

Beban Moral Para Pekerja : Kesadaran Palsu dan Tak Ada Hari Untuk 'Istirahat' Seseorang dikatakan bekerja, itu artinya mereka membutuhkan sesuatu untuk bisa bertahan hidup. Seseorang yang punya kegigihan, rela melakukan pekerjaan apapun demi mendapatkan cuan atau sesuap nasi dalam memenuhi hasrat kehidupan sehari-hari. Bahkan seorang pelacur atau mucikari pun adalah pekerja yang gigih, walaupun hal tersebut dilakukan demikian dan mendapatkan stereotip atau stigma yang negatif di tengah-tengah kondisi lingkungan masyarakat.  Kalau kita melakukan metode analisis epoche atau menghilangkan stigmatisasi-stigmatisasi yang menyudutkan mereka, apa salahnya bekerja sebagai seorang pelacur atau mucikari? Mereka tak hidup enak seperti tuan putri, mereka juga tak makan uang rakyat yang lebih terlihat dan pantas dikatakan haram. Para tuan dan pejabat itu datang sendiri menemui mereka dan memberinya uang. Seharusnya, bukankah itu pekerjaan mulia? Mereka juga bisa lelah dan tak bisa memberon...

Putus Asa

Serpihan Kaca di Saku Celana Aku tak pernah betul-betul pulang Tempat yang ku susuri hanya panorama kenikmatan sementara Menyeret kakiku paksa tak berdaya Untuk berpura-pura menikmati dunia Semuanya terasa palsu, Menggelikan Pengembaraan yang tersesat, Tak ada tempat untuk diriku Menyendiri di tepi Begawan Solo Atau di Ranu Kumbolo Sendirian, Mungkin ini lebih baik, Daripada menikmati keterpaksaan Di rumah ibu atau ayah yang berantakan Seperti mimpi buruk yang menyeretku segera pergi Membuat jiwaku membekas di antara menetap atau tak kembali.  Aku hanya mampu memandang dunia dari jendela kafe Atau dari buku-buku yang menciptakan rumah Membawa serpihan kaca-kaca rumah yang ku selipkan di saku celana Sendirian bersama pencarian Pikiran yang mengelana ke tempat tujuan Namun itu semua hanya permulaan Sebab aku tak tahu rencana Tak mempersiapkan rencana Aku hanya membawa diriku yang sepi Dan seribu pertanyaan abstrak yang berlabuh dipikiran  Seperti benang-benang kusut yang tak mam...