Feminisme Untuk Trend (Gaya Hidup)

 Jangan Mengaku Paham Feminisme: Kalau Hanya Untuk Gaya Hidup Agar Terlihat Keren


Saat nongkrong di warung kopi. Aku seringkali melihat perempuan entah itu yang memakai kerudung atau tidak, datang membawa bir yang dibelinya di luar, lalu dengan garangnya mereka kadang-kadang memantik api rokok di depan kawan-kawannya, tertawa keras, bicara soal feminisme, baik kepada kawan laki-laki maupun perempuannya. Ini ada dan sering aku temui ketika sedang asyik nongki di salah satu kedai kopi atau di emperan warung kopi sekalipun. Aku melihatnya sungguh keren, gagah dan berani, dan aku tiba-tiba merasa menciut dan merasa "gak ada apa-apanya". Aku iri jujur saja dengan perempuan-perempuan yang seperti itu. Bukannya tak bisa meniru, tapi itu adalah pilihan. Dan aku masih memilih diriku untuk biasa-biasa saja seperti ini, kuno? Tak asik? Tak menarik? Tak ada gregetnya? Yasudah tak apa, lagipula itu juga pilihan. 


Okelah, kalau cara itu dilakukan atas dasar kehidupannya yang memang sudah seperti itu, atau ada satu-dua masalah dalam hidupnya sehingga hal tersebut merubah dirinya menjadi seperti itu. Aku akan lebih menoleransinya. Namun, daripada hal itu digunakan untuk 'sengaja' menunjukkan singa betinanya agar terlihat keren di depan teman-temannya, terutama teman-teman laki-lakinya, apalagi kalau sudah bawa-bawa feminisme. Sungguh, sangat keren, sekaligus malahan lebih norak. Ya gausah jauh-jauhlah, ambil saja sebuah contoh: ada seorang OKB di sebuah kampung, keren si kelihatannya, punya banyak uang, harta yang mana orang lain juga ingin menirunya seperti dia. Itu masih ada dalam konteks "normal". Tapi kalau misalnya si OKB ini juga memamerkan harta kekayaannya dengan sengaja kepada orang-orang kampung, rumah mewah, mobil mewah, maka ini sudah dalam konteks "tak normal" alias "norak!". 


Feminisme, rokok, meminum bir dan mungkin lepas jilbab seolah-olah telah dijadikan kambing hitam demi memenuhi kebutuhan hidup agar terlihat keren dan trendi di tengah-tengah publik. Okelah, dia tahu banyak soal feminisme, dia tak seperti perempuan-perempuan lain pada umumnya. Tapi kalo udah bawa soal feminisme demi untuk terlihat gaya dan keren doang, apalagi saat sudah selesai ngopi, lalu minta teman laki-lakinya yang membayarkan dengan bilang "IYALAH. ELU KAN COWOK!" (1), maka sungguh, NIHIL! Gaada apa-apanya lagi. Udah gaya bicara sok ala tahu feminisme, mahir dan pandai betul teori feminisme, tapi kalo itu digunakan hanya sebatas pamer apalagi masih melakukan seksisme-misandri, maka sudah tak ada keren-kerennya lagi. 


Kalo kayak gitu, berarti serba salah dong? Gak paham feminisme salah? Tahu soal feminisme masih dibilang salah? Tidak, aku tidak melarang bahkan menyalahkan seseorang untuk paham feminisme dan dijadikan konsumsi secara pribadi untuk kebutuhan intelektual, tapi yang salah adalah ketika seseorang memakai atau membawa-bawa teori "feminisme" atas dasar kebutuhan hidup, pamer dan bahkan dalam praktiknya masih berlagak phobia dan sensitif terhadap makhluk bernama "laki-laki", maka itu norak dan tak jelas. Mengapa tak jelas? Karena di satu sisi berlagak banyak tau soal feminisme yang secara otomatis sudah menunjukkan 'singa betinanya', tapi ketika memakai pembelaan "IYALAH. ELU KAN COWOK!", maka itu juga telaj menunjukkan dan melegalkan dirinya secara resmi "lemah (inferior)" di hadapan laki-laki, yang mana dalam praktiknya tetap "membutuhkan kehadiran laki-laki" dengan cara yang seksisme-misandri.


Bagiku pribadi, rasanya tak usah lagi lah menilai seseorang berdasarkan nilai dan ukuran yang pada akhirnya memunculkan budaya seksisme "siapa kamu dan apa jenis kelaminmu?". Bagi Etin Anwar dan Nina Nurmala, "pada realitanya, kita tak bisa menjadi phobia terhadap lawan jenis kita." Kita tak bisa utuh meniru gaya hidup para feminisme radikal di barat yang menyerukan kesetaraan dengan menolak salah satu lawan jenis yang sejatinya sudah kodrati ini. Dan rasanya tak usah lah kita capek-capek menghabiskan tenaga kita dengan mengutip beberapa quotes atau teori ala-ala feminisme kalau itu dasarnya hanya untuk menjalani hidup demi terlihat keren dan berlagak menyerang kepatriarkian laki-laki yang pada kenyataannya memang sudah kodrati juga dalam diri si laki-laki dan mendarah daging. 


Kita memang perlu melawan, kalau konteksnya hanya pada sesuatu yang dianggap dan faktual menyimpang saja. Bolehlah sangat di haruskan (beda dengan diwajibkan) bagi seseorang untuk paham dan belajar feminisme jika konteksnya hanya untuk kebutuhan pribadi intelektual atau berdiskusi yang disejajarkan dengan bagaimana caranya menghadapi dan menyikapi suatu kasus yang mendiskriminasikan lawan jenis. Tapi kalau tujuannya cuma untuk pamer sebagai gaya hidup dan realitanya berlagak ala-ala phobia terhadap laki-laki dengan pembelaan bahwa dia adalah makhluk bernama LAKI-LAKI yang harus dilawan, maka itu tak makesense. Maka ia pun tak ubahnya bersikap seksisme tanpa disadari, dan menyadari bahwa dalam praktiknya 'ia inferior dan membutuhkan seorang makhluk bernama laki-laki' walaupun konteksnya berlagak paham feminisme, bahkan merokok, buka jilbab, minum bir, dan pro-kesetaraan gender biar terlihat keren dan lebih bergairah saja.


Life is normal, don't bother if in reality you are a hypocrite. -Soe Hok Gie


Azhar Azizah; seseorang yang biasa-biasa saja dan gak ada apa-apanya.


Referensi : 

(1) Ilahi, Fauzan Nur. "Apa Iya, Lepas Hijab dan Gaya Busana ‘You Can See’ Itu Bagian dari Feminisme?". di https://rembukan.com/apa-iya-lepas-hijab-dan-gaya-busana-you-can-see-itu-bagian-dari-feminisme/?amp (diakses pada Jumat, 24 September 2021)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Bung

Post-Mo : A World We Need

Catatan Hitam, Lembar 1 : Memahami Anarkisme Alexander Berkman