Beban Moral Para Pekerja

Beban Moral Para Pekerja : Kesadaran Palsu dan Tak Ada Hari Untuk 'Istirahat'


Seseorang dikatakan bekerja, itu artinya mereka membutuhkan sesuatu untuk bisa bertahan hidup. Seseorang yang punya kegigihan, rela melakukan pekerjaan apapun demi mendapatkan cuan atau sesuap nasi dalam memenuhi hasrat kehidupan sehari-hari. Bahkan seorang pelacur atau mucikari pun adalah pekerja yang gigih, walaupun hal tersebut dilakukan demikian dan mendapatkan stereotip atau stigma yang negatif di tengah-tengah kondisi lingkungan masyarakat. 


Kalau kita melakukan metode analisis epoche atau menghilangkan stigmatisasi-stigmatisasi yang menyudutkan mereka, apa salahnya bekerja sebagai seorang pelacur atau mucikari? Mereka tak hidup enak seperti tuan putri, mereka juga tak makan uang rakyat yang lebih terlihat dan pantas dikatakan haram. Para tuan dan pejabat itu datang sendiri menemui mereka dan memberinya uang. Seharusnya, bukankah itu pekerjaan mulia? Mereka juga bisa lelah dan tak bisa memberontak, menggunakan polesan make-up, senyum dan teknik yang cantik setiap bertemu tuan-tuan itu. Itu juga menjadi beban moral seperti yang dirasakan oleh para pekerja pada umumnya. Namun, dalam kondisi masyarakat yang sudah mendarah daging apalagi telah didukung dan diselimuti hangat dengan doktrin-doktrin keagamaan, sulit rasanya untuk bisa menganggap para pelacur dan mucikari itu sama-sama manusia. 


Kita tak bisa mengelakkan atau menyalahkan dalam satu perspektif saja mengenai kondisi dan keadaan mereka. Misalnya, ketika suami apalagi istri (yang cenderung sensitif) anda pulang larut malam, anda malah menyalahkan dan over melakukan prasangka negatif yang tidak-tidak kepadanya. Suami/istri anda bukan tak bisa melawan ocehan anda, tapi kondisi fisik, serta pikiran yang lemah membuatnya rela anda ocehi hingga keesokan pagi bahkan hingga terdengar di telinga anak-anak anda, yang menjadikan si anak tak bisa memfilter hingga akhirnya sama berpikiran negatifnya dengan anda. Ia tak butuh untuk menyerang anda balik dengan omelannya, yang dibutuhkan adalah waktu istirahat yang cukup alias "TIDUR" atau menghabiskan waktu bersama anda dan anak-anak. Karena bagi para pekerja, apalagi mereka yang bekerja di atas waktu maksimum para buruh, "waktu tidur" utamanya lebih berharga ketimbang waktu bekerja, ya walaupun bekerja juga menjadi kebutuhan pokok untuk mendapatkan uang dan mencukupi keluarganya. Artinya kita harus melihat hal-hal lain yang ada dalam diri mereka dan mengapa mereka rela dan mau melakukan waktu kerja yang kapitalistik, yang seharusnya lebih pantas dikatakan "tidak manusiawinya" itu.


Yang menjadi beban moral dalam diri mereka adalah jam kerja yang tidak manusiawi dan tak bisa disangkal serta stigmatisasi yang masih mereka dapatkan. Misalnya, ada beberapa pasangan yang masih mengeluh dan berkicau karena gaji si pasangannya ini terlalu sedikit, atau ada seorang istri yang membandingkan gaji suaminya yang sedikit dengan waktu jam kerja suaminya yang kapitapitalistik tersebut menggunakan ocehannya dari pagi hingga pagi lagi. 


Bahkan ini pun berlaku bagi seorang pelacur. Sekalipun mereka bekerja dari pagi hingga pagi untuk memuaskan hasrat kebutuhan biologis manusia, nyata-nyatanya mereka masih mendapatkan stigmatisasi yang menyudutkan mereka dengan setumpuk label misalnya : 'perempuan murahan', 'perempuan nakal' dsb. Inilah yang dikatakan Gramsci sebagai "selimut hangat kesadaran palsu" saya sering menyebutnya begitu, artinya "meskipun pekerjaan itu macam tai atau tidak, mereka akan tetap melakukannya dan tak bisa memberontak demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari".


Mereka tak bisa menyangkal stigmatisasi tersebut serta jam kerja yang kapitalistik, sebab, pertama, stigmatisasi tersebut tak bisa dihilangkan, kedua, kecuali saat jam kerja yang tidak kapitalistik tersebut hilang dan mendapatkan upah yang sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya, ketiga, adanya suatu utopia yang mengatakan bahwa "seandainya dunia ini tak dihitung berdasarkan nilai mata uang (tak ada uang) tetapi lebih dihitung berdasarkan nilai 'kemanusiaan", maka stigmatisasi juga otomatis akan hilang. Para kamrad marxis, anarkisme-komunis dan sindikalisme kiri, bahkan Gramsci sekalipun, sering menyebutkan "Semuanya akan menjadi normal, aman dan tentram, saat dalang dari semua permainan ini 'si Kapitalisme' dapat dihancurkan". Dengan demikian tak ada lagi yang namanya jam kerja kapitapitalistik, stigmatisasi dan subordinasi negatif, serta setumpuk beban moral para pekerja yang tak bisa terlampiaskan.


Azhar Azizah ; Penulis Abal-abal, penyuka kopi, kiri, dan si doi yang tiba-tiba pergi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Bung

Post-Mo : A World We Need

Catatan Hitam, Lembar 1 : Memahami Anarkisme Alexander Berkman