Ada yang Bergema: Kehampaan
Makhluk Immortal itu bernama : "Kehampaan"
Aku seperti mencari sesuatu. Sebuah tanda tanya. Apakah hidup kita seakan mencari tanya? Dan jawaban itu hanya bersifat immortal. Namun derap jantungku, bertalu lebih cepat. Karena ada yang bergema. Ia bernama Kehampaan. Entah dari mana muncul kembali. Namun sangat menukik, mencekik dan memekik. Kulihat langit sore, berubah menjadi muram. Haru pedesaan kembali meriuhkan suasana. Suara ladang jagung dan ladang padi yang dihembus angin, anak-anak yang asyik bermain layangan, gunung-gunung yang menjulang tinggi, petani yang menanam padi hingga kelelahan, atau ladang yang menguning emas, lalu tonggeret berbunyi, seakan berbicara dalam bahasa-bahasa yang kesepian.
Aku terdiam cukup lama, hampir 3 jam. Memikirkan apapun yang terbesit. Makan pun rasanya tak nikmat dan tak bergairah. Ponsel rasanya tak menarik lagi, tak ada hiburan. Namun kehampaan masih asyik menyelimuti diriku sendirian, bergema dan meraung seperti singa yang kelaparan. Aku ingin pergi, entah hingga perbatasan mana. Aku ingin berbicara atau meminum segelas susu di pagi hari, sambil memutar kartun dengan raut bahagia. Aku ingin jadi angin yang melintas bebas di udara. Aku ingin keriuhan, keramaian, dan lalu lalang Jakarta yang sibuk. Aku ingin jadi seorang martir. Aku ingin jadi ledakan granat, aku ingin jadi jerit bayi, aku ingin jadi pekik trauma, aku ingin jadi tumpukan buku yang berserakan. Aku ingin jadi apapun, asalkan tidak kesepian . Asalkan aku tidak kesepian. Namun wangi hampa masih meriuhkan suasana. Seperti stoples melati atau kunyit yang Dimas simpan di dalam ruangan, namun semua itu tak melepaskan dirinya tetap hampa.
Namun kesunyian itu jauh lebih pekat. Laut, Nietzsche, Kierkegaard dan Gie seakan datang menjelma menjadi angin sore, menjadi apapun di sekitarku, supaya aku ikut merasa hampa. Menikmati kehampaan yang mesra. Datang menjelma dalam ketidaktahuanku yang ringkih. Mengajakku dalam sebuah perjamuan kudus dan sakral. Meminum segelas anggur. Berbicara tentang manusia-manusia yang manis dan lucu. Dunia yang penuh olokkan, politik kekuasaan, serta caci maki. Dan Nietzsche tertawa lantang. Sedang aku merenung tak bergairah. Aku tak ingin menulis apapun disini, aku hanya ingin menulis agar merasa tak hampa. Gema kehampaan itu lebih jahat dari apapun, supaya aku terjebak. Barang sekali adzan ashar, tak jemu membuatku merasa ringkih. Perasaan melankolis, lebih pekat meriuhkan tanya.
Aku ingin pergi ziarah ke makam nenek. Memutar lagu atau menonton film anime. Pergi ke sungai menikmati air terjun. Alam seolah menjadi penari latar paling indah. Membaca novel seharian. Merayakan sukacita atau pesta pora. Menikmati pemandangan atau aroma buku yang bau dan lusuh di Pasar Minggu. Atau menikmati secangkir kemesraan di Ciputat. Namun kakiku masih tak ingin di ajak jalan.
Dan aku murung lesu di tengah kehampaan. Mencari jawaban yang immortal. Pencarian, lalu lalang yang tak ingin ku hentikan. Merasuk dalam seluruh isi kepala. Nalar bahkan tak mengerti keadaanku dan apa mauku.
Oh sejatinya kehampaan merasuk dalam seluruh immortalku. Ketidakjelasan yang merasuk ruang-pikiran. Memikirkan kehidupan, idealisme, yang tak henti-henti. Mencari apapun yang ingin di carinya. Dan menyebabkan perasaan melankolis datang tak karuan.
Atau aku terlalu lelah? Aku tak tahu.
Komentar
Posting Komentar