Untuk Dara
Oleh: Soe
Hai, Dara.
Surat ini kutulis di tengah sakit kepala yang mengganggu. Saat batang leher hingga ke tengkorak kepala terasa nyut-nyutan. Mungkin karena terlalu lama menatap layar terpa; mungkin juga karena terlalu sering begadang. Entahlah.
Sebelumnya aku minta maaf jika surat ini dibuka dengan keluhan, bukan dengan sapaan manis, salam, atau basa-basi tanya kabar. Itu terlalu klise. Dan menurutku, kau juga tak suka dengan hal-hal seperti itu. Jadi izinkanku agar menunaikan janjiku siang itu: merespon pertanyaan (setengah pernyataan) darimu di salah satu media sosial.
Begini, Dara. Tanpa perlu aku menceritakan tentang bagaimana bunyi tulisanmu kala itu, tanpa perlu aku membeber konteks saat itu, aku ingin mempertegas bahwa andai suatu pilihan tak diiringi oleh suatu konsekuensi, atau andai konsekuensi dari satu pilihan selalu baik, maka aku akan memilih untuk berasamamu. Segera.
Namun sayangnya, kita tahu sama tahu, bahwa hal yang tengah kita perbincangkan ini tak sesempit hanya perihal memilih tanpa berpikir konsekuensinya, dan tak setiap konsekuensi itu baik. Tidak, Dara.
Dalam sejarah manusia, kita sudah sama-sama belajar bahwa memilih bersama, atas nama cinta, tak hanya membuahkan hal-hal manis. Namun juga hal-hal pilu, menyakitkan, dan meremas hati. Perpisahan, keretakan hubungan, dan dendam adalah beberapa contohnya.
Dara. Andai aku tak dibayang-bayangi oleh konsekuensi semacam itu, maka tak perlu waktu lama untukku memutuskan agar kita melangkah lebih dalam. Namun siapa yang menjamin bahwa kita akan bersama selamanya? Atau siapa yang menjamin bahwa hubungan kita akan lebih baik jika bersama? Atau paling tidak, siapa yang menjamin jika kita memilih bersama, kemudian dipaksa pisah oleh keadaan, lalu kita masih baik-baik saja tanpa bermusuhan, atau saling menyimpan dendam? Jawabannya adalah tidak ada.
Dara. Perasaanku terhadapmu kadang menghalangiku untuk serampangan memilih. Aku terlalu sayang untuk berpisah denganmu. Terlalu eman untuk menghancurkan hubungan sebagai dua manusia yang saling sayang, mengasihi, dan saling menguatkan untuk terus berkembang, hanya karena urusan cinta. Aku tak mau atas dasar perasaan cinta, justru menjadi alasan untuk saling membenci, nantinya. Bukankah kau juga tau, bahwa seringkali yang membuat kecewa adalah orang terdekat kita?!
Lihatlah bagaimana William Shakespeare, melalui Romeo dan Juliet, melukiskan bahwa cinta tak hanya soal keindahan dan kemenangan; atau Nizami Ganjavi dengan Layla Majnun-nya; Hamka dengan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck-nya, serta cerita sejenis lainnya. Poinnya, mereka, para penulis itu, hendak mengatakan bahwa cinta tak melulu soal yang indah-indah. Pedih juga adalah salah satu anasir dari cinta.
Sejatinya, aku ingin lebih dari sekadar hubungan kita saat ini. Tapi aku tak mau keinginan itu membuat buta. Aku masih terlalu nyaman dan enggan kehilanganmu hanya karena memaksakan hubungan agar lebih erat. Dan aku masih belum siap dengan salah satu anasir cinta yang kusebut di atas: kepedihan dan kehilangan.
Dara. Maaf atas ketakutanku. Maaf karena aku berlagak layaknya seorang pecundang yang tak berani ambil konsekuensi. Tapi kau juga harus mengerti, bahwa perilaku pecundang ini lahir dari ketakutanku akan kehilangan. Ini lahir dari rasa nyaman berlebih terhadapmu.
Aku masih terlalu nyaman, masih terlalu ingin untuk melewati hari dan berbagai hal denganmu. Masih ingin berbagi dan berdebat banyak soal. Masih ingin menatap wajahmu dengan nikmat. Masih ingin memegang tangan dan memeluk tubuhmu dengan hangat. Masih ingin menghabiskan banyak buku dan mendiskusikannya denganmu. Dan aku takut, itu tak akan terjadi jika kita melangkah lebih jauh lagi.
Dara. Aku menyayangimu. Kuyakin kau tahu itu.
Dariku,
Orang yang menanti balasan surat darimu. Selalu.
Komentar
Posting Komentar