Ada 16 HAKtP loh, Gatau? Lupa? Masa Sampe LUPA Sih?
Perempuan bukan menuntut ingin dilihat atau sebagainya. Faktanya, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan masih gencar, tapi agaknya kurang seksi di telinga masyarakat.
Penulis : Azhar Azizah-
Stereotip terhadap kata ‘perempuan’ sebagai makhluk yang lemah, manja, dan juga selalu dijadikan bahan-bahan satire dalam kehidupan sehari-hari masih terus terjadi hingga hari ini. Perempuan bukan menuntut ingin dilihat atau sebagainya. Faktanya, kasus-kasus kekerasan berbasis gender (KBG) khususnya terhadap perempuan masih menimbulkan angka-angka yang mebumbung tinggi, tetapi sepertinya, hal ini masih kurang jeli di lihat masyarakat. Padahal, sepenuhnya kita mengetahui secara sadar dan jelas bahwa kasus-kasus diskriminasi, penyalahgunaan hak terhadap perempuan dan kasus interseksionalitas perempuan masih rutin terjadi dimana-mana, khususnya di tanah air. 16 HAKtP rasa-rasanya mulai mengalami ke-masif-an tapi belum sepenuhnya tergerak dan terbuka secara sistematis aktif. Walaupun sudah berjalan dari tahun 1991, persoalan 16 HAKtP belum begitu dikenal secara luas hingga grassroots society tanah air. Sebelum menyelam lebih luas mengenai 16 HAKtP, kita harus menjawab pertanyaan fundamental terlebih dahulu, yaitu "Apa yang dimaksud dengan 16 HAKtP?"
Di kutip dalam jurnal KOMNAS PEREMPUAN mengenai sejarah lahirnya 16 HAKtP, bahwa pengertian 16 HAKtP adalah 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence). Dalam 16 hari ini, biasanya dilakukan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Adapun awal mula adanya Kampanye 16 HAKtP ini di bentuk pada tahun 1991 oleh Women’s Global Leadership Institute, yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Kegiatan ini pada setiap tahunnya berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan peringatan terhadap Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) - sampai tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Rentang waktu tersebut pada umumnya saling bertaut yang berkisar dalam jangka waktu 16 hari, karena tujuannya adalah dalam menghubungkan secara simbolik antara peringatan kekerasan terhadap perempuan dan Hak Asasi Manusia, serta menekankan bahwa Kekerasan Berbasis Gender (KBG) atau Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) khususnya terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM sendiri.
Kampanye ini dimulai dari tanggal 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 29 November sebagai Hari Internasional Perempuan Pembela HAM (PPHAM), 1 Desember sebagai Hari HIV/AIDS Sedunia, 2 Desember sebagai Hari Internasional Penghapusan Perbudakan, 3 Desember sebagai Hari Internasional Penyandang Disabilitas, 5 Desember sebagai Hari Internasional bagi Sukarelawan, 6 Desember sebagai Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan serta berakhir sebagai Hari Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember.
Adapun awal mula atau sejarah lahirnya 16 HAKtP ini berawal dari hari atas meninggalnya Mirabal bersaudara yang merupakan kakak-beradik, yakni Patria, Minerva dan Maria Teresa pada tanggal yang sama, yaitu 25 November tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki tangan pengusasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yakni Rafael Trujillo. Ketiga kakak-beradik ini merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran peguasa Republik Dominika pada waktu itu. Pada tanggal ini juga menandai sekaligus hari diakuinya kekerasan berbasis gender dan di deklarasikan pertama kalinya sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) pada tahun 1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama. Ada pula faktor yang mendukung terdorongnya lahirnya gerakan dan kampanye 16 HAKtP ini juga karena adanya desakan masyarakat terhadap pemerintah untuk mengesahkan RUU PKS yang terjadi pada tahun 2018 - (hingga kini desakan atas Pengesahan UU Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021).
Tahun 2019 desakan itu kembali dilakukan dan tetap disuarakan, sebab masyarakat percaya bahwa dengan adanya RUU tersebut pasti akan sangat dibutuhkan sebagai wadah hukum yang dapat mengadili korban dan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Namun sepenuhnya kita sadar bahwa, pengesahan RUU PKS ini kurang “mendarat” di tengah-tengah publik atau di ditelinga masyarakat, serta bersangkut-paut dengan pandangan budaya misoginis yang masih sibuk melekat. Lebih luas lagi, pandangan tentang martabat perempuan sebagai manusia, agaknya masih belum melek, masih awam, terus melakukan fanatisme budaya yang masih sangat melekat, terutama pemahaman mereka yang masih tabu dan bisu tentang 'perempuan' di kalangan masyarakat. Faktor penguat lainnya yang menjadikan laki-laki dianggap superior adalah adanya faktor penguat yakni budaya-budaya misoginis-misandris, ketidakjelasan antara definisi seks dan gender, serta penyelewengan atas nama agama yang selalu dikatakan bahwa "agama memandang dan mengatakan, bahwa perempuan adalah makhluk kedua yang berdiri di belakang laki-laki." Inilah yang akhirnya menjadikan perempuan inferior dan selalu memiliki rasa inferior, sehingga tak lagi dipandang setara hak-haknya dengan laki-laki. Kita sadar, fenomena ini selalu terjadi, ruang bagi perempuan selalu mengalami penyempitan, marjinalisasi, subordinasi, dan stereotip yang masih saja terjadi. Pada akhirnya budaya dan masyarakat menganggap pengangkatan hak-hak perempuan adalah "ah itu kan hal yang terlalu tak menarik untuk di bahas". Karena itu, masalah-masalah diskriminasi dan kekerasan berbasis gender tidak dianggap prioritas, melainkan ditempatkan di ranah yang kecil yang terselubung dan dibungkam sebagai hal yang tabu, yang tidak terlalu penting untuk di bahas.
Dalam kegiatan kampanye dan peringatan 16 HAKtP ini bertujuan di antaranya, (1) untuk meningkatkan pemahaman publik atau masyarakat mengenai kekerasan berbasis gender; (2) memperkuat kerja-kerja di tingkat lokal dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan; (3) membangun kerjasama yang lebih solid untuk mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di tingkat lokal dan internasional; (4) mengembangkan metode-metode yang efektif dalam upaya peningkatan pemahaman publik sebagai strategi perlawanan dalam gerakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; (5) menunjukkan solidaritas kelompok perempuan sedunia dalam melakukan upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; (6) membangun gerakan anti kekerasan terhadap perempuan untuk memperkuat tekanan terhadap pemerintah agar melaksanakan dan mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Kendati pun, kita sadar bahwa 16 HAKtP ini belum menjadi kepedulian penting publik, bahwa hampir setiap hari bahkan jamnya perempuan mengalami pelecehan atau bahkan kekerasan seksual, dengan berbagai macam variasi bentuknya. Karena itu, salah satu tantangan terbesar 16 HAKtP adalah, melakukan sosialisasi yang lebih gencar dan luas lagi kepada publik. Bahwa 16HAKtP adalah tujuan bersama kita sebagai masyarakat, demi menciptakan sebuah dunia yang toleran, hidup harmonis, adil dan tanpa kekerasan. dengan 16 HAKtP dan UU Permendikbud Ristek no. 30 tahun 2021 juga dapat mengingatkan kita bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi di seluruh dunia, kebisuan terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan harus dipecahkan, dan dibutuhkan kepedulian bersama untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Satu pesanku kamerad,
Masalah perempuan, adalah masalah kemanusiaan!
#16HAKtPGerakbersama
#Ada16HAKtPlohmasagatau
Komentar
Posting Komentar