Diskriminasi Perempuan dalam Dunia Pekerjaan (Jurnalistik)
Diskriminasi Perempuan dalam Dunia Pekerjaan (Jurnalistik)
Penulis : Azhar Azizah (manusia biasa).
Empat hari yang lalu, saya mengikuti sebuah pekan jurnalistik LPM Institut UIN Jakarta bersama Konde.co yang di pandu oleh Ibu Luviana yang membahas tentang "Ketimpangan Perempuan dalam Dunia Jurnalistik". Saya mencatat beberapa poin yang menjadi fokus saya, di antaranya adalah:
1. Kualitas penggambaran dunia perempuan dalam dunia Jurnalistik yang relatif rendah dan mendapatkan berbagai macam stereotip peran,
2. Adanya bias gender yang masih kental melalui konstruksi ideal misoginis-patriarkis,
3. Meskipun dalam kampus, mereka berasal dari program studi mahasiswi jurnalistik, tetapi ketika sudah terjun dalam dunia kerja, mereka (mahasiswi) tidak memprioritaskan dunia jurnalistik sebagai karier utama, karena penuh resiko keamanan, dampak sosial yang rentan terjadi, tidak ramah terhadap perempuan sehingga tidak mampu dan tidak bisa mereka hadapi,
4. Konsep-konsep ideal saat mencari lowongan dan wawancara kerja yang masih melakukan kategorisasi melalui syarat-syarat rekrutmen yang bias dan diskriminatif berdasarkan maskulin-feminim, misalnya : seorang jurnalis perempuan bisa diterima jika ia berpenampilan menarik, cantik, sehat jasmani dan rohani, tak boleh gemuk, tubuh yang proporsional, jika hamil tak boleh muncul di televisi (karena terlihat gemuk). Ini semua adalah persyaratan yang mengobjektivikasi perempuan, sehingga jika tidak ada yang sesuai dengan persyaratan tersebut maka ia tidak bisa diterima dan akan memarginalkan peran perempuan,
5. Sering terjadinya kasus rayuan bernada seksual saat wawancara berlangsung,
6. Resiko pelecehan, kekerasan dan ancaman seksual yang bervariasi yang sering didapatkan perempuan,
7. Sedikitnya berita tentang perempuan di dalam media. Jikapun ada, maka yang ada hanyalah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi karena perempuan, hal ini dapat dilihat misalnya, perempuan yang sudah single setelah menikah disebut sebagai janda, dan kata 'janda' pun banyak mendapatkan konotasi dan atribut yang negatif, contohnya : janda identik terkenal dengan janda kembang, janda genit, janda muda, janda seksi dsb. Lalu hal ini pun didukung oleh media seperti ada film yang merujuk pada kata 'janda' dengan judul : Gara-gara Djanda Muda (1954), Sembilan Janda Genit (1977), Janda Kembang (2009), dan Mati Muda di Pelukan Janda (2011). Ini semua menunjukkan adanya kekerasan simbolik terhadap representasi janda di media, hal ini di dukung berdasarkan riset dari Iwan Awaludin Yusuf. Tetapi jarang kata 'Duda' menjadi objek simbolik. Coba saja teliti, tidak ada representasi Duda di media yang mendapatkan stigma negatif.
8. Semua poin ini menunjukkan bahwa perempuan di dalam media (dunia jurnalistik) masih mengalami ketimpangan gender dan masalah kesetaraan gender sebagai jurang yang menganga,
9. Apa yang harus dilakukan dan membuat perempuan berdaya dalam kehidupan maupun dalam media? Menulis, berorganisasi, politik koalisi untuk keadilan gender, serta semarak kampanye untuk pemberdayaan perempuan.
Komentar
Posting Komentar