Penghayatan Sufistik Sachiko Murata dan Mulyadhi Kartanegara
Sufistik : Sang Pemikir Panteistik menuju Prinsip Tauhid
Kita harus menilik salah satu bunyi Firman Allah, dalam Q.S. Fussilat ayat 53, yang berbunyi : "Kami akan memperlihatkan tanda-tanda kami di segenap Cakrawala dan dalam jiwa mereka sendiri, sampai jelas bagi mereka bahwa Dia adalah Maha Benar".
Ini menandakan bahwa tanda-tanda (ayat) Allah yang dijumpai baik di dalam maupun di luar diri manusia merupakan salah satu tema yang berulang-ulang di dalam Al-Quran. Sebuah tanda adalah fenomena yang memberitahukan ihwal (hal) Allah. Tanda itu bisa dijumpai dari seorang nabi, risalah nabi, mukjizat nabi atau berbagai hal yang berkaitan yang ada di alam semesta ini dengan Allah.
Ayat pendukung lainnya terdapat dalam Firman Allah, yakni Quran Surat (51 : 20-21) yang berbunyi "Dan di atas bumi ada tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan juga dalam dirimu. Apakah tidak kamu perhatikan?". Singkatnya, bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini merupakan tanda-tanda Allah. Maka sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk memahami gagasan ini sebagai fondasi pemikiran Islam. Di samping itu sebaiknya manusia menanggapi tanda-tanda Allah dengan cara: mengingat, memahami, melihat, bersyukur, merenung menggunakan akal, taqwa kepada Allah dan lain sebagainya. Menurut definisi, Allah tidaklah tampak. Namun jejak-jejak dan isyarat dari ciptaan-Nya yang mengagumkan itu bisa menghasilkan pemahaman tentang Allah jika kita memang benar-benar berpikir dan merenungkannya. Dan di dalam Al-Quran juga sebetulnya mengecilkan arti pemikiran yang bercorak "ilmiah" sambil mendorong lahirnya pemikiran yang bercorak "puitis". Oleh sebab itu maka, pemikiran Sachiko Murata banyak didominasi oleh pemikiran sufistik, yang meminta manusia untuk melihat makna dan hikmah hakiki dari segala sesuatu dalam kaitannya dengan Allah.
Meskipun tujuan akhir dalam pemikiran kaum sufistik adalah prinsip Tauhid untuk mencapai keesaan Allah. Namun dalam memahami alam semesta beserta kaitannya dengan Allah, pemikiran mereka kadang-kadang dianggap sebagai panteistik, yang artinya, bahwa alam semesta ini adalah wajah atau tanda-tanda (ayat) Allah, yakni dimana ketika kita melihat manusia (laki-laki dan perempuan), maka seolah-olah kita juga terasa seperti melihat Allah, dimana ketika melihat gunung, langit bencana juga seolah-olah kita melihat Allah. Meskipun dianggap bertentangan dengan ajaran Tauhid, tetapi umumnya kaum sufistik tidak mempermasalahkan hal tersebut. Karena meskipun tujuan mereka tetap berpegang teguh pada prinsip Tauhid, tapi dalam cara memandang Allah, mereka menggunakan cara berpikir panteistik, yang artinya, ketika kita melihat segalanya di alam semesta ini, maka sama saja seperti kita melihat Sang Pencipta, yakni Allah Al-Haqq (Sang Kebenaran) dengan cara merenung, merefleksikan dan memikirkan tanda-tanda-Nya.
Hal ini di dukung dengan pandangan M. Rasyid Al-Din Maybudi memandang dengan cara membandingkan tubuh manusia dengan sebuah lembaran sebagai tempat Allah menulis. Ini sangat sufistik dan puitis. Baginya penciptaan Allah ada dalam diri lahiriah dan juga batiniah manusia, kita tak boleh menafikan keindahan dan kesempurnaan penciptaan batiniah disamping kita mengakui adanya penciptaan lahiriah manusia. Hal ini pada akhirnya membuat kita menjadi merenungkan dan melihat berbagai macam kehormatan, keindahan dan keutamaan khusus dari kedekatan yang ditempatkan Allah ke dalam diri manusia.
Pada akhirnya Sachiko Murata dan juga Maybudi menjelaskan bahwa tanda-tanda Allah memberikan jalan dan sarana untuk mengenal dan mengetahui Allah dalam realitas alam semesta sebagai mumkin al-wujud dari wahdah al-wujud Allah, terutama tanda-tanda Allah dalam diri manusia. Dan ini adalah sebuah tradisi kearifan atau hikmah sebagai tujuan hidup manusia itu sendiri dalam mencari tanda-tanda atau ayat-ayat Allah. Ini juga sering dikutip oleh para pengarang hadits yang mengatakan, "Barang siapa mengenal jiwanya (dirinya sendiri), maka sama saja dia juga mengenal Tuhannya". Inilah esensi panteistik dan juga esensi tauhid dalam diri para sufistik terutama dalam karya dan tulisan Sachiko Murata. Hal ini di dukung dengan firman Allah Q.S. Ar-Rum ayat 20, yang berbunyi :
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ اِذَآ اَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُوْنَ
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak."
Dalam ungkapan Maybudi diterangkan bahwa "Manusia hanyalah segenggam tanah, sebuah tangkai dalam bayang-bayang kegelapan, ketidaktahuan, dan kebingungannya sendiri. Tetapi kemudian, Allah akhirnya menurunkan cahaya itu, supaya manusia dapat berpikir". Ini selaras dengan pemikiran Mulyadhi Kartanegara yang mengatakan bahwa, cahaya pada Tuhan itu mengalir pada manifestasi-manifestasi (tajalliyat) Tuhan, yaitu malaikat yang esensinya tercipta dari cahaya (Nur) atau sebagai akal aktif yang membentuk rangkaian alam semesta, lalu menurunkan cahaya itu pada benda-benda langit yang perlahan membuka penerangan alam semesta (langit), lalu di turunkan lagi kepada benda-benda bumi yang gelap yang kemudian mampu menghidupi alam semesta, termasuk manusia, hewan dan tumbuhan di dalamnya. Semua daya itu tak bisa dipandang begitu saja sebagai daya yang berdiri sendiri. Hal ini di berikan sebagai pengaruh dari adanya kuasa dan kelembutan Tuhan, melalui akal aktif (malaikat), jiwa-jiwa dan cahaya pada planet (benda-benda langit), serta turun melalui matahari sebagai sumber penghidupan bumi beserta isinya. Semua turun temurun, membentuk integrasi yang selaras, berjalan dengan keseimbangan yang holistik dan harmoni.
Maka dengan begitu, jiwa yang ada di dalam manusia merupakan pancaran dari jiwa Tuhan yang ada. Jiwa identik dengan cahaya, sebab cahaya dan jiwa sama-sama menghidupkan segala sesuatu dan membuat manusia beserta alam semesta (semua makhluk) akhirnya sama-sama merenungkan, berpikir dan berdzikir untuk kembali pada sumber segala cahaya, yakni Allah Al-Haqq, satu-satunya sang Realitas Sejati. Pada akhirnya bagi Mulyadhi, ini membentuk satu kesatuan dan kembali kepada Yang Satu, yakni Allah SWT.
Tanda cahaya yang lain selain jiwa adalah, ketika seorang hamba mampu mengenal Tuhannya sendiri tanpa menemukan-Nya, mencintai-Nya tanpa mengetahui wujud-Nya, berpaling dari kesibukan dan perenungan dirinya sendiri menuju kesibukan dan perenungan akan Tuhan-Nya. Inilah menifesto filosofis sufistik Sachiko Murata dan Mulyadhi Kartanegara.
Komentar
Posting Komentar