Interpretasi Teks Universal Gender dalam Tafsir: Kisah Penciptaan Adam dan Kisah Zulaikha

Interpretasi Teks Universal Gender dalam Tafsir: Kisah Penciptaan Adam dan Kisah Zulaikha


Penulis : Azhar Azizah, seseorang yang mencoba memahami tafsir walau kadang-kadang paradigmanya seperti Decard.

Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji tafsir yang bias dalam kisah penciptaan Nabi Adam dan kisah Zulaikha. Bagi Pak Kusmana, kita tidak bisa mengharapkan semua tafsir ini bersifat adil (Diskusi Kom-talks: Tradisi Intelektual HMI). Pasti ada beberapa tafsir yang interpretasinya bias. Mengapa demikian? Hal ini dibuktikan karena tafsir pada waktu itu, banyak di tulis oleh pengalaman, ijtihad dan paradigma para mufasir yang kebetulan banyak didominasi oleh kaum laki-laki yang kemudian didukung oleh penafsiran masyarakat Muslim terhadap penjelasan praktik-praktik yang bias dalam Al-Qur'an dan Hadits. Kita harus mengerti konteks ini, sebab kita tidak boleh melupakan sejarah. 

Dahulu, sejak Islam belum datang dan muncul ke permukaan, budaya Arab masih di dominasi oleh budaya patriarkis yang sangat kental melalui adanya zaman jahiliah. Saya rasanya tak perlu menyebutkan bukti patriarkis lainnya, karena pembaca pasti sudah bisa mengerti, bagaimana bentuk/praktik dan bukti-bukti patriarkis itu sendiri. Hanya saja yang perlu di garis bawahi adalah bahwa sejak zaman itu, kita sudah tak asing dengan pernyataan bahwa "sejak itu perempuan diasingkan, dijadikan budak dan alat, direndahkan, dianggap lemah yang kemudian diejawantahkan dalam ruang domestik saja, dianggap makhluk seksual (makhluk pembawa hawa nafsu), hingga di bunuh hidup-hidup saat masih bayi karena adanya anggapan bahwa kalau mereka di rawat, maka hanya akan menjadi beban dan aib bagi masyarakat dan orangtua". 

Dengan adanya anggapan itulah, setiap keunggulan akhirnya di ajarkan dan dilekatkan lebih utuh kepada laki-laki daripada perempuan, atau bisa jadi hanya kepada laki-laki saja. Sehingga pada akhirnya dan pada realitasnya, dampak dari semua itu, masyarakat hanya melek, mengunggulkan, memberdayakan atau bahkan mendukung perbuatan ekses, otonomi, otoritas, dominasi yang hierarkis yang dilakukan oleh laki-laki saja. Dalam posisi ini sudah barang tentu memarjinalisasikan peran perempuan di dalamnya. Hingga akhirnya, segala khazanah intelektual, hak pendidikan penuh hanya di berikan kepada laki-laki saja pada masa itu. Sehingga proses penulisan tafsir "yang kita kenal" hanya di berikan kepada laki-laki (mufasir). Meskipun jauh dari pernyataan tersebut, banyak periwayatan yang dilakukan oleh perempuan-perempuan sezamannya, selain Aisyah R.a. Namun laki-laki lah yang akhirnya dalam hal ini lebih dikenal sebagai pembuat sejarah karena kuatnya budaya patriarkis tersebut yang lebih mengunggulkan peran laki-laki.

Sebetulnya, ajaran Al-Qur'an sejak dahulu bersifat egalitarian, universal dan netralitas, yakni menekankan keadilan dan kesetaraan antara satu dengan yang lainnya demi menciptakan keseimbangan yang relevan. Tetapi karena manusia, yang dipilih oleh Allah SWT sebagai makhluk istimewa yang berakal, Allah pun memberikan kebebasan bagi manusia untuk berpikir dan menjalankan kebebasannya tersebut. Dan karena kebebasannya itulah manusia bisa mengekspresikan dirinya melalui cara berpikir atau tingkah laku, seperti halnya yang dilakukan oleh para mufasir melalui pengalaman, ijtihad dan paradigma mereka yang diejawantahkan dalam sebuah tafsir. Entah pengejawantahan tafsir tersebut dapat bermanfaat untuk seluruh umat, atau hanya umat tertentu saja. Mengapa demikian? Sebab saya melihat dalam hal ini ada sesuatu yang tidak universalitas dalam kisah Penciptaan Adam dan kisah Zulaikha kepada Yusuf dalam Al-Qur'an, meskipun Al-Qur'an yang ada ditangan kita hari ini adalah Al-Qur'an yang mutlak benar dan jelas (Tidak ada keraguan padanya), tapi bagi Decard, ragu itu perlu, sebab dengan ragu itu kita berpikir. 

Dalam kisah penciptaan Adam, misalnya. Apakah penciptaan Adam menyiratkan superioritas laki-laki terhadap perempuan dan juga klaim ekslusifnya terhadap kemanusiaan? Pada realitasnya 'Ya', sebab hal ini menunjukkan bahwa penafsiran Adam telah diinternalisasikan dalam kehidupan secara umum dan kehidupan perempuan secara khusus, serta memberikan kesimpulan bahwa Adam telah menjadi landasan teori kemanusiaan yang ideal di dasarkan pada jenis kelamin laki-laki. Selain tafsir yang berpandangan pada gender hierarkis, yang penafsirannya telah bercampur dengan proses kreatif manusia terhadap Al-Qur'an yang melibatkan pikiran, pengalaman, dan logika, hingga kemudian kita menganggap Hawa sebagai pelengkap (secondary) dari Adam (primary). Hal yang menguatkan penafsiran ini adalah karena anggapan dan klaim kaum Muslim sendiri yang langsung menerima tafsir tersebut sebagai pernyataan mutlak dan tergesa-gesa (tanpa adanya interpretasi). Pada gilirannya, ini telah melahirkan pandangan yang bias gender dan pemisahan yang lebar antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada politik pembedaan jenis kelamin. Bagi para feminis muslim seperti Fatima Mernissi, Amina Wadud, Neng Dara Afifah, Musdah Mulia, Zaitunah Subhan, Etin Anwar, Nina Nurmala, dan Lailatul Fitriya perlunya interpretasi ulang atas ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan penciptaan umat manusia secara egaliter dan netral guna memberikan pemahaman baru yang benar mengenai kesetaraan gender dalam Islam. Karena selama ini konsep penciptaan manusia dalam al-Adamiyyah yang ideal telah menjadi sumber utama adanya ketidaksetaraan gender.

Lalu, dalam kisah Zulaikha terhadap Yusuf. Dalam kisah tersebut telah menyiratkan pemahaman yang menganggap bahwa perempuan lekat dikaitkan sebagai makhluk seksual atau makhluk yang tak bisa menahan hawa nafsunya. Sekalipun ayat Al-Qur'an itu mengandung interpretasi yang kadangkala bias gender, bagi Pak Kusmana juga kita harus mampu menyikapi pernyataan tersebut secara cermat, mengetahui makna yang tersirat yang sebenarnya ingin disampaikan Allah SWT secara universalitas kepada alam semesta dan seluruh umat manusia. Akibat pemahaman yang bias, saya jadi sering melihat dan mendengar bahwa masyarakat pada akhirnya dengan penafsiran dan pemahamannya yang tergesa-gesa telah menganggap bahwa melalui kisah Zulaikha dengan Nabi Yusuf, perempuan memang mutlak dikatakan sebagai makhluk seksual.  

Pertanyaannya, "Lalu bagaimana solusinya?"

Saya tak bisa memberikan solusi yang tepat, karena bisa saja, interpretasi saya deduktif dan masih terdapat banyak kesalahan. Saya mendasari argumen pribadi ini karena menyadari 3 hal, sebab manusia itu lemah (Q.S. Annisa: 28), manusia itu tergesa-gesa (Q.S. Al-Isra: 11), dan manusia itu suka menuruti prasangkanya (Q.S Yunus: 36). Namun meskipun banyak kekurangan, semoga pandangan saya setidaknya bisa menjadi landasan yang egaliter dan universal meski hanya sedikit. 

Dalam interpretasi makna, sesungguhnya akan membentuk kerangka berpikir dan jati diri manusia. Maka dari itu, kiranya kita perlu melakukan interpretasi ulang yang tepat dan teliti, supaya mampu menghasilkan interpretasi yang universal, dan egaliter. Pertama kisah penciptaan Adam. Saya menerapkan paradigma bahwa sebetulnya Allah SWT memberikan pesan kepada umat mansia, bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makhluk berpikir dan mampu merealisasikan kehendak Tuhan melalui Adam yang kebetulan berjenis kelamin laki-laki dan kemudian Hawa, sehingga dalam peristiwa tersebut, Allah hendak menyampaikan pesan bahwa "laki-laki dan perempuan (melalui penciptaan Adam dan Hawa) adalah manifestasi, cahaya Tuhan, dan komponen 'bersama' dalam membentuk kemanusiaan, serta menciptakan hubungan yang seimbang, adil dan demokratis antar-manusia". Maka menurut Amina Wadud, selain adanya interpretasi yang bias, kita harus mampu menyikapi pesan Al-Qur'an yang tepat terhadap penciptaan manusia yang netral dan universal. (Amina Wadud : Qur'an and Women, p. 15). Dengan argumentasi tersebut, kita harus segera menyingkirkan pemahaman yang tidak tepat, bahwa manusia adalah anak keturunan Nabi Adam, yang didasarkan pada jenis kelamin laki-laki dan pemahaman bahwa garis keturunan hanya didasarkan pada garis keturunan Ayah. Dalam anggapan yang lebih netral, kita harus bisa mencermati bahwa manusia adalah anak keturunan Nabi Adam dan Siti Hawa, dan bahwa garis keturunan berpihak kepada garis keturunan Ayah dan Ibu, sebab ibu dan ayah 'sama-sama' bertanggungjawab dalam membentuk kemanusiaan dan keturunan yang baik untuk membentuk suatu peradaban.

Kedua, dalam kisah Zulaikha terhadap Yusuf. Saya pun menerapkan paradigma, bahwa sebetulnya Allah SWT ingin memberikan pesan kepada umat manusia, bahwa Allah menghadirkan Zulaikha dengan tujuan untuk menunjukkan dan menguji umatnya melalui Zulaikha yang kebetulan 'berjenis kelamin perempuan' untuk menghadirkan Yusuf. Apakah manusia itu biasa-biasa saja dengan ketampanan dan kesalehan Yusuf? Hingga akhirnya Zulaikha jatuh cinta kepada Yusuf (keinginan memiliki Yusuf). Namun kita harus melihat konteks yang lain bahwa, bukan hanya Zulaikha saja yang terpengaruh dengan kehadiran Yusuf. Para perempuan-perempuan yang mencibir Zulaikha sebagai wanita penggoda, rupa-rupanya juga terperangah dengan ketampanan dan kesalehan Yusuf. Maka perlu diperhatikan, bahwa "apakah peristiwa ini hendak menyampaikan bahwa Zulaikha adalah seorang penggoda? Atau ketampanan dan kesalehan Yusuf lah yang rupa-rupanya menggoda para perempuan dan hati Zulaikha ssbagai bentuk ujian Allah kepada umat manusia?" Saya mencoba untuk menarik kesimpulan dalam konteks yang lebih netral, bahwa Allah dalam hal ini menyiratkan suatu pesan kepada umatnya, bahwa manusia baik laki-laki maupun perempuan tidak bisa menahan hawa nafsunya. Namun kemudian, argumen ini di konstruksi secara legalitas, tergesa-gesa dan melihat secara transparan pada kasus Zulaikha sebagai pernyataan yang absolut dan menghasilkan paradigma berpikir yang bias, bahwa perempuan memang benar adalah makhluk seksual dan makhluk yang tak bisa menahan hawa nafsunya. Jikapun sains menyiratkan pendapat yang mendukung bahwa hasrat seksual perempuan memang lebih tinggi, tetapi bagi saya, tak logis agaknya jika kita hanya menilai dengan sebelah mata. Kita harus memaknai pesan Al-Qur'an secara cermat ataupun konteks empiris yang mendukung. Lalu mengejawantahkan perspektif tersebut dalam hal yang netral dan universal. 

Yang sebenarnya harus diimplementasikan adalah bahwa, rasanya terlalu absurd, lelah dan tak ada habisnya jika kita melulu melihat segala sesuatu harus jelas dengan kontras perbedaan dan melihat siapa yang lebih unggul. Kalau paradigma seperti ini melulu yang dikedepankan, kita tak akan menemukan solusi untuk menemukan interpretasi yang tepat dan universal. Hilangkan lah suatu kebiasaan, bahwa segala sesuatu 'apa-apa jangan dinilai pake rujukan jenis kelamin'. Bagi Murata, ini bukan soal siapa yang paling berkuasa dan lebih unggul. Kita seharusnya membentuk keseimbangan yang relevan dan harmonis. Bagi saya, keseimbangan itu akan datang ketika manusia menyadari pola yang tidak tepat, lalu merubah perlahan paradigma dan interpretasi yang hierarkis dan bias tersebut menjadi paradigma dan interpretasi yang universal dan egaliter. Sebab pada akhirnya semua manusia (laki-laki dan perempuan) sama-sama akan kembali kepada Allah, berhadapan dan mempertanggungjawabkan tindakannya kepada Tuhan (Allah al-Khalik). Yang bias, hanyalah pada tingkat ketakwaannya saja. Bukankah itu yang hendak disampaikan dan diharapkan oleh Allah SWT kepada kita semua agar manusia berpikir?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Bung

Post-Mo : A World We Need

Catatan Hitam, Lembar 1 : Memahami Anarkisme Alexander Berkman