Puisi, Penyair dan ASU
Sastra Itu Sederhana, tapi Menukik Tajam!
Penulis : Azhar Azizah, penyuka sastra.
Selain tertular teman ngomong kasar, ternyata sastra (puisi) juga nyata-nyatanya membuat saya pandai berbicara ngomong ASU. Ya bagaimana tidak? tiap kali saya membaca sastra, atau cuplikan musikalisasi puisi, dengan sendirinya mulut saya selalu bilang "Anjirr! Asu!" atau paling tidak yang lebih sederhana "Bangsatt!". Puisi dan penyair yang hebat adalah sekumpulan ASU bagi saya. Karena selain pandai bermain dan beribadah kata, mereka juga mampu menyuguhkan makna dan pesan yang bikin bulu kuduk jadi merinding. Baru-baru ini saya membaca sastra dan buku esai puisi dari penyair khas sunda, yakni Kang Acep Zamzam Noor. Terbilang baru, saya mengenal beliau, tapi selain Jokpin, Wira Nagara, Aan Mansyur, Soe Hok Gie, Widji Thukul, Chairil Anwar, Omar Khayam, Fikar W. Eda, K.H. Mustofa Bisri, dan D. Zawawi Imron, kang Acep bagi saya adalah sekumpulan dari ASU tersebut.
ASU dalam hal ini, bukanlah mengandung makna yang kasar dan stigma yang negatif. Saya pribadi memaknai kata ASU karena kekaguman saya yang tak bisa dijelaskan kepada penyair yang berhasil menumpahkan kopi dengan lantang dan membawa sastra pada tempat yang berharga. Meskipun puisi itu sederhana, tapi jika mampu dipahami dengan baik, maka ia tak hanya dikenal sebagai air yang mengalir ikhlas, kadang-kadang puisi juga menukik tajam seperti jurang yang curam. Dalam hal ini saya tak akan mengulas secara khusus mengenai pemikiran Kang Acep sendiri, tetapi saya akan menempatkan tulisan dan pemikirannya dalam mendukung tulisan saya ini, supaya menghindari plagiarisme.
Bagi kang Acep, memahami puisi mungkin memang sedikit lebih rumit dibanding memahami prosa atau bahasa novel. Kerumitan ini biasanya terjadi karena puisi yang disajikan para penyair biasanya didukung dari pengalaman pribadinya yang berlapis-lapis. Penyair tak sekedar memberikan keterangan dan penjelasan kepada pembaca tentang apa yang ingin disampaikannya, tetapi juga mengajak pembaca untuk mengikuti alur ombak atau arah mata angin dalam memperhitungkan jumlah bunyi, keharmonisan irama, kekayaan imaji, ketepatan simbol, bermain kata dan diksi, dsb. Bagi saya pribadi, saat saya dihadapkan pada puisi dan terdapat diksi yang rumit, justru hal itu menambah wawasan saya untuk mencari tahu arti diksi tersebut sebagai tambahan bahasa dalam menyajikan puisi yang baik. Saya pribadi sejujurnya tak suka memakai bahasa yang sulit di pahami pembaca, saya lebih kepada menyajikan bahasa umum yang ngena dan mudah untuk dimengerti. Meskipun bahasa dan diksi sendiri mencerminkan intelektualitas penyair, seperti halnya puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Muhamad.
Pertama kali saya mencoba mendalami sastra-puisi adalah ketika saya dihadapkan pada karakter Rangga dan Gie yang diperankan oleh Nicholas Saputra saat membacakan Puisi karya Aan Mansyur dan Soe Hok Gie. Misalnya puisi Tidak Ada New York Hari Ini dan Mencari Makna. Dan di sini pulalah awal mula kata ASU keluar dari mulut saya, karena dua puisi ini menyiratkan kesepian yang amat mendalam. Hal ini terlihat dalam larik "Meriang. Meriang. Aku meriang." -puisi Aan Mansyur dan "Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku." -puisi Soe Hok Gie. Berikut bunyi puisinya,
01 Tidak ada New York hari ini-M. Aan Mansyur
Tidak ada New York hari ini.
Tidak ada New York kemarin.
Aku sendiri dan tidak berada di sini.
Semua orang adalah orang lain.
Bahasa ibu adalah kamar tidurku.
Ku peluk tubuh sendiri.
Dan cinta—kau tak ingin aku
mematikan mata lampu.
Jendela terbuka
dan masa lampau memasukiku sebagai angin.
Meriang. Meriang. Aku meriang.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang
Hari ini tidak pernah ada. Kemarin tidak nyata.
Aku sendiri dan tidak menulis puisi ini. Semua
kata tubuh mati semata.
Puisi adalah museum yang lengang. Masa remaja
dan negeri jauh. Jatuh dan patah. Foto-foto hitam
putih. Aroma kemeja ayah dan senyum perempuan
yang tidak membiarkanku merindukan senyum lain.
Tidak ada pengunjung. Tidak ada pengunjung.
Dibalik jendela, langit sedang mendung.
Tidak ada puisi hari ini. Tidak ada puisi kemarin.
Aku menghapus seluruh kata sebelum sempat menuliskannya.
02 Mencari Makna-Soe Hok Gie
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi.
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang.
Ada bayi-bayi yang mati di Biafra.
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku.
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.
Mari sini sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita takkan pernah kehilangan apa-apa.
Lalu yang menjadi puncaknya adalah ketika saya dihadapkan dengan puisi Jokpin-Celana, Wira Nagara-Distilasi Alkena, K.H. Mustofa Bisri-Selamat Tahun Baru Kawan. Kira-kira begini salah satu bunyi puisi mereka.
03 Selamat Tahun Baru Kawan-K.H. Mustofa Bisri
Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk, memandang diri sendiri
Bercermin firnan Tuhan, sebelum kita dihisab-Nya
Kawan, siapakah kita ini sebenarnya?
Muslimkah, mukminin, muttaqin, kholifah Allah, umat Muhammad kah kita?
Khoirul ummatin kah kita?
Atau sama saja dengan makhluk lain atau bahkan lebih rendah lagi
Hanya budak perut dan kelamin
Iman kita kepada Allah dan yang ghaib rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan
Lebih pipih dari kain rok perempuan
Betapapun tersiksa, kita khusyuk di depan masa
Dan tiba-tiba buas dan binal disaat sendiri bersama-Nya
Syahadat kita rasanya lebih buruk dari bunyi bedug, atau pernyataan setia pegawai rendahan saja
Kosong, tak berdaya.
Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu
Lebih cepat daripada menghirup kopi panas dan lebih ramai daripada lamunan 1000 anak pemuda.
Doa kita sesudahnya justru lebih serius memohon enak hidup di dunia dan bahagia di surga.
Puasa kita rasanya sekedar mengubah jadwal makan dan minum dan saat istirahat, tanpa menggeser acara buat syahwat, ketika datang rasa lapar atau haus.
Kita manggut-manggut, ooh.. beginikah rasanya
Dan kita sudah merasa memikirkan saudara-saudara kita yang melarat.
Zakat kita jauh lebih berat terasa dibanding tukang becak melepas penghasilannya untuk kupon undian yang sia-sia
Kalaupun terkeluarkan, harapan pun tanpa ukuran
Upaya-upaya Tuhan menggantinya lipat ganda
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri,
Mencari pengalaman spiritual dan material,
Membuang uang kecil dan dosa besar.
Lalu pulang membawa label suci asli made in saudi "HAJI".
Kawan, lalu bagaimana dan seberapa lama kita bersama-Nya atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya, mensiasati dunia khalifahnya,
Kawan, tak terasa kita semakin pintar, mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita
Paling tidak kita semakin pintar berdalih
Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan
Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran, mengacau dan menipu demi keselamatan
Memukul, mencaci demi pendidikan
Berbuat semaunya demi kemerdekaan
Tidak berbuat apa-apa demi ketentraman
Membiarkan kemungkaran demo kedamaian
Pendek kata demi semua yang baik halallah sampai yang tidak baik.
Lalu bagaimana para cendekiawan, seniman, mubaligh dan kiai sebagai penyambung lidah Nabi?
Jangan ganggu mereka
Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya
Para seniman sedang merenungkan apa saja
Para mubaligh sedang sibuk berteriak kemana-mana
Para kiai sibuk berfatwa dan berdoa
Para pemimpin sedang mengatur semuanya
Biarkan mereka di atas sana
Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri.
Dalam konteks zaman yang sudah modern, selain menjadi renungan dan kritik terhadap realitas sosial, puisi ini juga memiliki nilai-nilai yang kaya akan religiusitas. Rasanya tak perlu mendengarkan orasi ceramah yang mengebu-ngebu untuk pulang kembali kepada renungan dan rengkuhan-Nya, cukup dengan menyimak puisi karya K.H. Mustofa Bisri, rasanya sudah cukup untuk menjadi intropeksi diri yang mampu memberikan makna dan satire yang tajam. Seperti halnya Saini K.M., Mustofa Bisri dengan latar belakang ke-pesantrenannya, tampil sebagai seorang Guru, Ajengan, atau Kiai yang mengajarkan kepada santri-santri atau pembacanya tentang pentingnya mengedepankan nilai moral spiritual dalam menciptakan puisi-puisi yang baik.
Lalu puncak ter-ASU dari penyair, ada pada puisi-puisi Omar Khayam dan kang Acep Zamzam Noor, tambahannya ada T.S. Eliot dalam puisinya yang berjudul Lagu Cinta J. Alfred Prufrock. Gimana gak asu, bunyi puisinya saja seperti ini,
04 Tonggeret-Acep Zamzam Noor
Pena dan pistol sama beratnya di tanganku.
05 Dari Ujung Telepon-Acep Zamzam Noor
Dari Ujung telepon,
Kau memintaku datang
Dengan rambut panjang, baju hitam
Ransel kusam serta sebotol minuman
Seperti biasa kau setia menungguku,
Di taman pahlawan
Dari Ujung Telepon
Aku berjanji segera datang
Menemuimu yang kedinginan
Berselimut selembar kafan
06 Resonansi-Acep Zamzam Noor
Kau adalah masa silamku yang tercecer
Pada serpihan kertas. Aku masih membacamu
Meski pandanganku mulai samar-samar
Kau adalah masa silamku yang tersisa
Pada gulungan kaset. Aku masih mendengarmu
Meski telingaku hanya menangkap kebisuan
Kau adalah masa silamku yang teronggok
Pada keranjang sampah. Aku masih memilahmu
Meski tanganku sulit membedakan terang dan gelap
Kau adalah masa silamku yang terpahat
Pada sebingkah nisan. Aku masih menziarahimu
Meski doaku semakin kehilangan resonansi.
Saya dapat melihat bahwa rata-rata isi puisi Kang Acep menggambarkan bahwa Cinta dan Kematian itu tak memiliki jarak. Keduanya menyatu begitu dekat. Makanya kalau orang lagi jatuh cinta biasanya suka ada ungkapan "saya rela mati demi Cinta." Kadang-kadang saya bertanya-tanya sendiri dengan puisi-puisi Kang Acep, "apa jangan-jangan dia punya pengalaman cinta yang mematikan?". Saya pikir rata-rata penyair ya begitu sih, meski diungkapkan melalui sebuah syair. Bahkan kang Acep juga menuliskan dalam bukunya "tanpa pengalaman, puisi tidak akan menjadi makna yang indah. Hal ini juga tersirat dalam puisi-puisi Omar Khayam yang tak kalah ASU dan bangsatnya juga. Ia menjelaskan, bahwa hidup itu juga kadang-kadang memabukkan. Meski yang dibahas kebanyakan bersifat duniawi, namun maknanya kadang-kadang bersifat mengajak kembali kepada spiritualitas dan satire bagi mereka yang haus akan kehidupan yang materialistis.
07 Puisi Anggur-Omar Khayam
Sekarang inilah masa mudaku
Anggur ku teguk, hiburan satu-satunya
Jangan salahkan aku, walau pahit menyenangkan bagiku
Sebab anggur cerminan hidupku yang pahit juga
Garis hidupku adalah minum dan bersuka ria
Bebas dan percaya dan ingkar adalah keyakinanku
Kutanya Mempelai Nasib siapa teman hidupnya
"Teman hidupku adalah hatimu yang senang," ujarnya
Khayam, jika kau mabuk anggur, nikmati ini
Jika sedang bersama si pipi tulip, nikmati ia:
Dalam tiada 'kan tamat segala ikhwal dunia
Bayangkan kau tiada, dan selagi ada, nikmati ini.
Dan sebagai penutup ke-ASUan, saya persembahkan puisi yang amat panjang karya T.S. Eliot dalam kegalauannya bersama J. Alfred Prufrock. Seperti halnya kang Acep, bahwa "Cinta dan Kematian tak memiliki jarak". Keduanya sangat dekat dan membunuh pada pengembaraan dan keterasingan. Puisi terjemahan ini saya dapatkan dari Martin Suryajana, sarjana filsuf muda dalam dalam channel Youtubenya yang berjudul "Kenapa Cinta Seperti Maut?". Selamat menyelam,
08 Lagu Cinta J. Alfred Prufrock-T.S. Eliot
Mari kita pergi kau dan aku
Ketika malam terlentang menghadap langit
Seperti pasien terbius di atas meja
Mari kita pergi, melalui jalan yang separuh sepi
Pergi bergumam pada malam-malam yang resah di hotel-hotel murah satu malam
Dan restoran kumuh dengan cangkang kerang
Jalanan yang mengikuti, seperti debat melelahkan dengan maksud kusut
Membawamu kepada pertanyaan yang tak tertahankan
Oh jangan tanyakan "apa itu?"
Mari kita pergi berkunjung
Di ruangan perempuan datang dan pergi berbicara tentang Michaelangelo
Kabut kuning yang menggosok punggungnya pada rangka jendela
Asap kuning yang menggosok moncongnya pada rangka jendela
Menjilatkan lidahnya pada tepi malam,
Berlama-lama di atas kubangan pada saluran pembuangan
Membiarkan punggungnya dihinggapi jelaga yang jatuh dari cerobong
Melintasi teras,
Melompat tiba-tiba,
Dan menyadari bahwa kala itu malam Oktober yang lembut,
Meringkuk di sekitar rumah dan jatuh tertidur.
Dan memang akan ada waktu bagi asap kuning yang melintasi jalanan,
Menggosok punggungnya pada rangka jendela
Akan ada waktu, akan ada waktu
Untuk menyiapkan wajah untuk bertemu wajah-wajah yang kau temui,
Akan ada waktu untuk membunuh dan mencipta,
Dan waktu bagi semua pekerjaan dan hari-hari kerja
Yang mengangkat dan menjatuhkan pada pertanyaan pada piringmu
Waktu untukmu dan waktu untukku,
Dan waktu untuk ratusan kesangsian,
Dan untuk ratusan visi dan revisi,
Sebelum waktu bersulang untuk mengambil roti dan teh
Di ruangan perempuan datang dan pergi berbicara tentang Michaelangelo
Dan memang, akan ada waktu untuk meragu
Apakah aku berani? Dan apakah aku berani?
Saat berbalik menuruni tangga, dengan lingkar botak pada tengah rambutku
Mereka lalu berkata "Bagaimana mungkin rambutnya telah menipis?"
Mantel bajuku, kerahku, terpasang kuat ke dagu
Dasiku mewah dan sederhana, namun ditegaskan oleh peniti sederhana
Mereka lalu berkata, "Tapi lengan dan kakinya kurus sekali".
Oh, beranikah aku menganggu alam semesta?
Dalam semenit, ada waktu bagi keputusan dan perbaikan
Yang dalam semenit akan terbalikkan
Sebab aku sudah mengenal mereka semua,
Mengenal mereka semua
Sudah mengenal malam, pagi, sore
Aku sudah mengukur habis hidupku dengan sendok teh
Aku mengenal suara-suara kematian dengan jatuhan maut
Di balik musik dari kamar yang jauh
Lalu bagaimana aku mesti menduga?
Dan aku sudah mengenal mereka semua
Mengenal mereka semua
Mata yang menyorotimu dalam ungkapan yang sudah dirumuskan
Dan saat aku rumuskan, terpental diriku pada sebuah peniti
Ketika aku tertusuk dan menggeliat di dinding
Maka bagaimanakah aku mesti memulai?
Mengisahkan setiap hari akhirku
Dan bagaimanakah aku mesti menduga?
Dan aku sudah mengenal tangan-tangan mereka
Mengenal mereka semua
Tangan-tangan bergelang, putih dan terbuka
Namun di lampu, tampak terlihat sedikit bulu coklat muda
Apakah wangi gaun yang membuatku melantur?
Tangan yang terbaring di atas meja atau yang terbungkus selendang
Dan bagaimana aku mesti menduga?
Dan bagaimana aku mesti memulai?
Haruskah aku bilang, "aku telah pergi waktu sore melalui jalan yang sempit".
Dan melihat asap membumbung dari pipa lelaki kesepian, dengan kemeja lengan bersandar di tepi jendela
Aku seharusnya jadi sepasang capit dekil, bergegas pergi melintasi laut sepi
Dan sore, malam, terlelap begitu damai
Di belai jemari lentik
Tertidur, lelah atau berpura-pura
Terbentang di lantai, di sini, di samping kau dan aku
Haruskah aku setelah teh, kue dan ice cream,
Mengumpulkan tenaga untuk memaksa momen itu ke puncaknya
Namun meskipun aku telah menangis dan berpuasa
Menangis dan berdoa
Meskipun aku telah melihat kepalaku yang agak sedikit botak di bawakan di atas piring
Aku bukan Nabi, dan itu bukan hal yang penting
Aku telah melihat momen kebesaranku saat mengerdip
Dan aku telah melihat pelayan abadi membawakan mantel sambil terkikik,
Singkatnya aku takut,
Dan apakah akan berguna lagi,
Setelah cangkir, selai jeruk, teh di antara porselen
Di antara berbagai percakapan antara kau dan aku
Akankah berguna untuk mengakhiri segalanya dengan senyuman?
Untuk meremas alam semesta menjadi sebuah bola
Menggulirkannya pada pertanyaan tak terbendung
Untuk berkata, "Aku adalah Lazarus datang dari alam maut, kembali untuk memberitahu alam semesta"
"Aku akan beritahu kalian semua"
Jika seseorang memecahkan bantal pada kepalanya, akan berkata
"Bukan itu maksudku, bukan itu sama sekali"
Dan akankah berguna lagi pula?
Akankah berguna?
Setelah senja, halaman dan jalanan yang basah
Setelah novel-novel,
Setelah cangkir teh,
Setelah rok yang terjuntai pada permukaan lantai,
Dan ini, dan masih banyak lagi
Sungguh, tak mungkin jika mengatakan apa ku maksudkan
Namun, lampu ajaib seolah menyorotkan sinar sarafku pada sebuah layar
Akankah berguna jika seseorang menata bantal atau menanggalkan selendang? Atau berpaling pada jendela? Sambil berkata,
"Bukan itu maksudku, bukan itu sama sekali"
Bukan. Aku bukan pangeran Hamlet
Tidak juga bermaksud demikian,
Aku adalah seorang hamba,
Seseorang yang cukup untuk mendorong kemajuan
Mengisi satu dua babak, menasehati sang pangeran
Untuk alat yang berguna, penuh hormat, bersyukur bisa membantu
Politis, hati-hati dan teliti
Penuh kalimat tinggi. sedikit oratif
Bahkan kadang-kadang menjadi lelucon.
Aku menua, aku menua
Aku akan menggunakan celana dengan ujung tergulung
Mestikah ku sisir rambutku ke belakang?
Beranikah aku memakan buah persik?
Akan ku kenakan celana flanel putih sambil berjalan menyusuri pantai
Aku telah mendengar putri duyung sedang bernyanyi
Ku rasa, mereka takkan bernyanyi untukku
Aku telah melihat mereka menunggak ombak ke arah laut
Menyisir rambut ombak putih ke belakang
Ketika angin bertiup, air jadi putih dan hitam
Kita telah lama berdiam di balik laut
Gadis-gadis laut bermahkotakan rumput laut merah dan cokelat
Sampai, suara manusia membangunkan kita,
Dan kita tenggelam..
---
Referensi :
1. Acep Zamzam Noor-Puisi dan Buku Kuduk
2. Martin Suryajana-Kenapa Cinta Seperti Maut?
Komentar
Posting Komentar