Penyair Belum Pulang

Pengantar -Antologi Puisi 'Penyair Belum Pulang' karya Azhar Azizah

Puisi-puisi ini adalah antologi dari sebuah karya besar milik saya pribadi, yang sejatinya belum ada niatan untuk saya terbitkan menjadi sebuah buku. Penyair belum pulang adalah puisi-puisi pengembaraan dan penyelaman seorang penyair tentang apa artinya pencarian dan pengasingan. Puisi ini bisa saja dinikmati pembaca sebagai air yang ikhlas mengalir di muara atau dinikmati sebagai ledakan granat. Saya persembahkan puisi ini sebagai pengantar kepada pembaca. Semoga pembaca bisa menikmati dengan khidmat dan khusyuk puisi-puisi ini.


01- Puisi Seorang Bajingan

Aku adalah pekik trauma

Atau auman pemberontakan

Atau musik rock yang kau putar di sudut ruangan

Yang merindukan riuhnya nafasmu

Atau dinginnya pendakian

Namun kau tak disini

Karena aku adalah orang aneh

Karena aku adalah seorang bajingan

Yang tak tahu caranya mengungkap rindu

Atau bercinta denganmu di antara hangatnya Mahameru

Atau berbicara denganmu tentang kisah Sartre dan Beauvoir

Dalam ketidakjelasan yang romantis


Aku ingin jadi ledakan granat

Aku ingin jadi debu rumah

Aku ingin jadi bus yang kehujanan

Aku ingin jadi sajak yang tak tersentuh

Aku ingin jadi sejejeran buku yang tak terbaca

Aku ingin jadi jerit anak kecil

Atau menjadi tangismu

Agar aku bisa menanggung semua luka

Yang kau biarkan simpan dan pendam dalam kedinginan

Atau air muara yang turun di pelupuk matamu

Yang tak ada habisnya

Hingga kau lelah

Hingga kau benci

Hingga kau biarkan lepas

Atau yang kau biarkan hempas

Tapi semua itu, tak akan melepaskan diriku

Sebagai seorang bajingan

Atau orang aneh

Di antara riuhnya perjalanan yang kau temui

Atau di antara kumpulan ilalang yang meliuk ke sana ke mari


Dan aku tetap disini,

Sebagai buku lusuh

Atau malangnya puisi yang tak terbaca

Menyendiri

Sebagai orang aneh

Atau yang kau anggap bajingan.

Aku adalah seorang bajingan

Yang tetap menjadi seorang bajingan

Di pelupuk matamu

Atau di dalam riuh hatimu.


02- Menangkap Keterasingan

Disini aku sendiri,

Menyesap laut yang biru atau yang hitam.

Tenggelam dan menenggelamkan diriku, di antara kesunyian yang membara

atau sesak yang bergumul dan bercengkrama tentang kita yang pergi di balik bait-bait keresahan.


Kau dan aku berlabuh, 

Menikmati perjamuan yang sepi

Dan keterasingan menangkap kita dalam sanubari yang kosong

Menyesap sesak yang kemudian tumpah di penghujung jalan yang sepi

Kini lautan semakin hitam dan pekat, 

dan ombak semakin menggulung kencang

Berbuih menyimpan keluh kesepian.


03- Apakah Aku Harus Bertanya?

Arah mata angin tak mampu bisa ku terka

Angin dan hujan yang datang, menusuk pada tulang dan ruas jariku yang dingin

Setelah roti, anggur dan selai stroberi

aku telah mengukur habis hidupku melalui gelas pasir atau sendok teh. 


Kini ibu memanggilku di penghujung jalan, 

memintaku pulang

Namun rumah yang rapih terkadang tak menyimpan ketenangan

Dan aku tetap berjalan, mengembara dan entah ke mana. 

Apakah aku harus bertanya pada burung-burung di langit? 

yang terbang bebas menyibakkan sayapnya, 

Atau, apakah aku harus berbisik pada ilalang yang bergoyang? 

setelah bunyi jangkrik menertawakan kesunyianku. 


Mungkin aku telah menyesap secangkir kopi pahit

Dan aku, kini berlabuh, berdiam dan berdoa di atas sampan seorang diri

Mengukur habis hidupku.


04- Apakah Harus Ku Renungi Kesunyian?

Apakah harus ku renungi kesunyian?

Apakah harus ku resapi kesangsian? 

yang diam, tegak dan berdiri di antara kemegahan Papandayan di depanku

Dan asap belerang yang mengepul, meresapi setiap belaian kehangatan tubuhku yang menggigil dan dingin

Kawah mulai menghalangi pandanganku. 

menghalangi setiap perjalanan yang ku daki. 

Dan aku terjatuh, terjatuh dan terhempas di bawa angin. 

Meringkuk diriku sendirian di atas tanah yang kotor dan basah. 

Lalu kini sepatuku jebol, dan kakiku berdarah. 

Disini. Tak ada siapa-siapa. 

Aku sendirian.

Layaknya seekor anak ayam yang tersesat mencari induknya yang hilang. 


Oh, haruskah aku meminta tolong?

Keramaian semesta hanya menjadi teka-teki yang semakin mengisi ruang-ruang kesepian dan ketakutanku

Lalu pohon-pohon yang menjulang tinggi, 

seakan melihat diriku dengan sorot mata yang tajam

Bunyi tonggeret menyuruhku untuk segera pergi. 

Aku berjalan. Sendirian. Dan di asingkan. 

Setelah orang-orang dan alam bahkan enggan memelukku, 

Dan kini, aku memeluk diriku sendiri. 

Sendirian, 

menggigil di antara luapan lirih yang sepi. 


05- Di Ibukota

Asap kendaraan yang mengepul di jalanan

Aku berdiri sendirian.

di bawah awan hitam yang tebal menurunkan hujan.

Semua orang masih berlalu-lalang

Lalu di sini, aku tengah mengembara

Pada keramaian 

Pada kesunyian

Pada keduanya.

Menepikan hidupku di antara truk besar yang menyeretku terpental pada sebuah tiang

BRUGHH!!

Dan tubuhku tak berdaya.

Dingin. Menggigil. Dan meriang.

Di terpa belaian angin hujan yang turun dari langit yang mendung.


Oh, aku bukan pawang hujan,

aku tak bisa menghentikan deras hujan yang semakin membuat darahku mengucur berceceran

Semua kata-kata menjadi mati.

Orang-orang menangis ngeri

Namun keramaian menangkapku dalam kesunyian,

Sebab semua orang adalah asing.

yang ku tatap di balik bilik mata yang sayup.


Oh, apakah aku sendirian?

kabut hitam perlahan menutupi seluruh pandanganku

Aku pergi,

Tergeletak,

Tak berdaya

di tengah ibu kota yang menjadi sunyi.


06- Perbatasan

Saatnya aku pergi,

ke perbatasan yang tak satupun orang tahu.

Aku sudah mengenal mereka semua,

Mengenal wajah, kerutan muka yang tak suka, atau tangan mereka yang sembarang melayang,

menamparku dalam keterasingan.

Asing dan diasingkan.

Oh, haruskah ku akhiri segalanya dengan senyuman?


Punggungku semakin menjauh,

namun orang-orang hanya melihatku menjauh.

Aku marah, tapi bukan itu maksudku,

Namun pelupuk mataku menjadi basah,

Aku tetap diam, berjalan ke arah perbatasan atau ke penghujung, atau ke sebuah arah yang tak satupun mereka tahu,

Tidak, aku tak menjelma menjadi seorang bajingan 

yang pergi tiba-tiba meninggalkan,

Tapi jika demikian, biarlah..


Oh, alam menjadi sunyi,

Langit segera mengubah jubahnya menjadi hitam di tepi malam,

Hanya ada suara tonggeret yang masih terkikik melihat kepergianku,

Oh, apakah aku menganggu alam semesta?

aku hanya pergi ke arah keperbatasan,

Dan aku pun tak tahu, perbatasan mana?

apakah perbatasan mempunyai ujungnya sebagai tempat pulang? Sebagai sebuah rumah?

Apakah aku akan terus berjalan?

Lihatlah tanda tanya itu.

Aku seperti orang tolol,

Sejatinya aku hanya ingin tahu.

Kemanakah aku akan pergi?

Lagi-lagi tanda tanya itu,

Menyiratkan tanda keputusasaan

Oh, apakah aku benar-benar pergi?

Tenggelam di telan kabut tipis?

Apakah aku yakin?

Oh, jalanan ini seperti debat kusir yang tak ada habisnya,


Setiap jalan yang ku susuri memberiku tanya

Apakah aku yakin?

Apakah aku berani?

Mengarungi alam semesta dan prahara?

tanda tanya itu, adalah langkah kematian.

Hingga aku lelah berpikir

Jika kepergianku membuat semuanya lebih baik, biarlah..


Aku akan menyusuri setapak jalan yang sepi,

Akan ku bawa alam semesta ke dalam tas ranselku, atau di dalam saku celanaku, di dalam buku catatanku 

atau menjadi sebuah bola kecil yang ketika ku dekap, ia mendekap lebih mesra.

Namun sejak tadi aku tak menemukan ujung perbatasan.

Dan kakiku terus melangkah meski sudah lelah, lecet, dekil dan berdarah.


07- Merdeka dalam Dirimu

Merdeka?

Kau lihat tanda tanya itu,

Penuh kesangsian

Apakah kita sudah benar-benar merdeka?

Ku dengar derap jantungmu yang mengebu

Amarah, politis, oratif, dan hati-hati

Semua buku sudah kau babat habis,

Mencari arti kata 'merdeka'

Namun setiap kamus,

Buku-buku sejarah,

Atau puisi-puisimu,

Terlalu klise bagimu untuk mengartikannya

Sebab, tak ada yang betul-betul merdeka.


Merdeka adalah bahagia, kebebasan,

Rasa puas,

Kendali dan amarah bercampur menjadi satu

Namun merdeka yang bagaimana?

Tanda tanya itu, seolah membawa kita pada jurang berpikir

Membawa kita pada benang-benang yang bertaut 

Atau debat kusut yang melelahkan

Bagiku merdeka adalah saat kita mendapatkan nasi kotak gratis

Dapat undian berhadiah dan gratis

Saat kau menyatakan cintamu lalu diterima

Atau saat kau berpikir hingga rambutmu serampangan dan mulai beruban

Kita masih mencari jalan,

Kita masih mencari arti dan harga sebuah 'kemerdekaan'.


Sejarah, kisah dan peradaban adalah buah dari kemerdekaan,

Masalahnya, merdeka yang seperti apa?

Merdeka yang baik dan buruk tetap saja menghasilkan sejarah

Dan ayah menanamkan kemerdekaan di jiwamu sebagai benih,

Lalu ibu, menyirami kemerdekaan di jiwamu agar tumbuh sebagai tunas unggul,

Tapi nalurimu berkata 'tak ada yang betul-betul merdeka,'

Selain amarah dan resah untuk selalu menjadi merdeka


Sebab merdeka adalah tekad yang kuat

Merdeka adalah laut dan ombak yang mesti kau arungi dengan kapal 

Merdeka adalah soal yakin,

Tak peduli merdeka dalam definisi yang baik atau buruk

Merdeka adalah darah juang dan raung prahara

Merdeka adalah suara-suara keresahan yang tak mampu kau bungkam

Merdeka adalah suaramu yang bergetar

Merdeka adalah jantungmu yang berdegup kencang

Merdeka adalah mereka yang selalu bertanya-tanya

Kau tak bisa menafikan kemerdekaan

Meski seribu kesangsian kau sematkan atas nama 'kemerdekaan'.


Lalu manusia yang merdeka

Adalah mereka yang memilih bebas

Dan yang memilih melawan.

Merdeka, ada dalam dirimu.


08- Puisi dan Tarian Revolusi

Puisi adalah tarian sufi

Atau jiwa anarkis yang murni

Mengandung nada melankolik

Atau nada-nada keresahan.

Sama seperti lagu-lagu Linkin Park, The Beatles, Oasis, Nirvana, One Ok Rock, Joan Baez dan John Denver

Atau di sela-sela kalimat revolusi yang indah, keras, marah, yang harmoni.


Puisi adalah ekspresi jiwa yang abadi

Ia adalah kalimat yang tergesa-gesa dalam menuangkan sebuah syair

Lalu penyair adalah orang yang jujur, peka, emosional, 

kadang pula tempramental.

Tapi demi menciptakan puisi yang hidup.

Kadang gairah pemberontakan diperlukan.


Puisi adalah revolusi kesadaran. 

Ia juga adalah pekik pemberontakan

atau darah perjuangan.

Atau realitas yang sepenuhnya harus dilampiaskan. 

Ia adalah kalimat pembebasan. 

Kalimat penghayatan

Dari segala cengkraman alam, penat, jenaka, bosan, dan risau.


Di hadapan dunia yang telanjang,

Kita diam-diam dan saling berbisik pada sebuah "kegaguman"

Dalam sebuah buku puisi yang lusuh, bau namun tetap di dekap 

Dan puisi adalah tarian-tarian sajak yang bergema pembebasan,

Ia adalah tarian revolusi kesadaran

Sial, aku jatuh cinta.


09- Ziarah ke Dalam Diri

Rupanya, dunia sedang tak berpihak

Aku masih membual dan terpuruk

Atau masih tak berdaya 

Meringkuk sendirian kedinginan

Bersama ketidakjelasan dan kesepian yang pekat

Dan kau memanggilku dari ujung telepon

Meminta ku meminum segelas susu

Atau menyuruhku bercerita di tepi Kawah Darajat

Dengan suara yang sama parau

Memekik kerinduan

Mencekik kehampaan

Namun aku tak berdaya

Tonggeret semakin berisik

Langit muram mengambang di udara

Bahkan air mata juga mengambang di pelupuk matamu

Atau di seluruh nafasku

Kenangan itu 

Di bawa gerimis dan hujan yang keroyokan


Aku masih mencari tanya ini

Berziarah dalam diri

Mengarungi lelautan yang tak bertepi

Menyelami ketidakberdayaan atas sesuatu yang tak mampu ku terka

Dan langkah kaki nenek yang sudah tergopoh

Adalah titian kehidupan yang sedang ku arungi

Kebisuan tinggallah jarak

Atau ia sedang menganga di sudut pintu

Bersama kehampaan

Dan di makam kakek yang hening

Aku memekik atas suatu kehilangan

Sendirian

Bersama daun-daun kering yang berserakan


Berziarah ke dalam diri,

Aku semakin menemukan kehampaan

Atau lelautan yang tak ada batas

Menyelam menyelam

Dalam ketiadaan..


10- Aku Hanya Ingin Pulang Di Sisimu, Manisku

Langit masih membara

Jerit bayi tak henti-henti

Perempuan menangis kesakitan

Anak-anak menjerit ketakutan 

Klakson kereta yang pengang

Lampu ibukota yang silau 

Suara ayah-ibu yang berteriak parau

Suara pemberontakan Wiji Thukul yang tajam

Semuanya memekik

Musim-musim berdarah

Dan aku masih tak menentu arah


Perjalanan pulang

Dan aku tak ingin menepi

Menikmati adzan maghrib

Datang berdiskusi di Agora 

Atau menikmati keindahan Parthenon

Musim salju di Jepang

Menikmati perjamuan di Miraza

Atau memberi makan anak-anak malang yang terlantar

Semua tampak mesra

Atau sesekali menikmati wajahmu

Di pangkuan bibirku yang lebam

Dan aku hanya ingin pulang

Bersamamu, kekasih.


Mungkin aku masih ingin berlabuh

Dipangkuan tangis ibu

Atau di pelupuk matamu

Namun pekik pemberontakanmu lebih kejam

Kau pergi entah ke perbatasan mana

Namun kau tak ku temukan

Ku cari hingga ke padang Mahsyar,

Apakah aku masih akan menemukanmu?

Menentukan arah nasib

Yang berkeliaran

Yang tak tentu arah

Namun, ketik jemariku masih asyik menulis namamu

Menyukaimu adalah pekerjaan yang tak pernah usai, Kekasih

Aku siap mengembara dalam 1000 tahun lamanya

Hingga akhirnya kau ku temukan

Di balik halaman buku

Atau di sudut kota menangis sendirian

Kau adalah pekerjaan paling melelahkan

Namun juga tak ingin ku hentikan

Aku masih tak ingin pulang,

Kecuali bersamamu..

Kecuali di sampingmu..

Sebab kau adalah seluruh kepulanganku.


--

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Bung

Post-Mo : A World We Need

Catatan Hitam, Lembar 1 : Memahami Anarkisme Alexander Berkman