Shalat Sebagai Perjalanan Intelektual
Shalat bukan hanya perjalanan spiritual, tapi shalat juga adalah perjalanan intelektual.
Penulis : Azhar Azizah
Disamping shalat mampu mendekatkan kita pada pengasingan diri sendiri, pada penghayatan, pada dialog intim bersama Sang Khalik, maka makna shalat juga adalah jalan intelektualitas untuk memahami apa yang ada disekitar kita. Memahami bahwa untuk bisa atau mampu sampai pada ke-intiman itu, kita harus melewati proses intelektualitas pemahaman akal murni melalui pemahaman Sunnatullah, yakni ayat-ayat Al-Qur'an dan eksistensi alam semesta sebagai tanda kebesaran dan gerakan tangan Allah SWT. Sudah selayaknya, manusia sebagai Khalifah, baik laki-laki dan perempuan, seharusnya mampu memahami intelektualitas tersebut. Bagi Murata, di samping manusia (Khalifah) memiliki keistimewaan, sebagai sentral, patron, yang dapat membuat kebaikan bagi sesama dan alam semesta. Kedua, karena kebebasannya itulah, seharusnya manusia mampu menggerakkan pikirannya untuk mencapai intelektualitas pemahaman Sang Khalik, sebagai kemuliaan yang telah Tuhan berikan itu.
Perjalanan spiritualitas dan intelektualitas itu beriringan. Ketika kita mampu memahami sesuatu melalui kemampuan penalaran intelektual, kita juga merasa dekat mencapai spiritualitas dan penghayatan. Keduanya berkorelasi dan memiliki sifat interdependensi. Meskipun dalam memaknai jalan dan mengarungi alam semesta, terdapat banyak rintangan yang manusia hadapi. Di samping memiliki kebebasan yang digunakan secara mulia, di sisi lain, karena kebebasan itulah, kadang-kadang manusia tak mampu menggunakan dengan tepat kemuliaan yang telah Tuhan berikan itu, hingga akhirnya timbullah beberapa penyimpangan yang dilakukannya. Ini artinya, manusia belum mencapai tahap intelektualitas dan spiritualitas yang sempurna. Satu-satunya yang bisa mencapai kesempurnaan itu selain seorang Nabi, adalah seorang manusia yang pasrah dan suci yakni, para sufi. Bagi Rumi, manusia kedua yang diberikan intelektualitas mengenai pemahaman makna Ketuhanan yang sempurna adalah para sufi, setelah yang pertama adalah para Nabi.
Yang jelas, shalat adalah perjalanan spiritual dan intelektualitas. Jika seorang intelek mampu mempertahankan imannya, maka dia sampai kepada suatu "pemahaman". Begitu pula jika seorang alim mampu meningkatkan intelektualitasnya, maka dia telah capai pada suatu "pemahaman" pula. Al-Qur'an sejatinya mampu membaca gerak-gerik alam semesta. Begitupun kejadian alam semesta, banyak tertulis dalam Al-Qur'an. Hal ini bisa ditunjukkan dalam firman Allah SWT (Q.S. Al-Isra 17:12) yang membahas mengenai rotasi bumi, pergerakan alam semesta 24 jam melalui bukti adanya siang dan malam yang berputar.
"Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan tanda malam dan Kami Jadikan tanda siang itu terang benderang, agar kamu (dapat) mencari karunia dari Tuhan-mu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Dan segala sesuatu telah Kami Terangkan dengan jelas".
Selain Q.S. Al-Isra 17:12, bukti lainnya terdapat dalam firman Allah yang lain (Q.S. Al-Isra 17:7) mengenai adanya kejahatan dan kebaikan. Saya melihat fenomena dan kasus ini pada pembubaran yang berujung pada perusakan dan penyerangan tentara Israel terhadap jamaah Palestina yang sedang melaksanakan shalat tarawih berjamaah di Masjidil Aqsa pada Jumat, 7 Mei 2021 silam. Adapun arti ayat tersebut sejalan dengan fenomena di atas :
"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (Kami Bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu lalu mereka masuk ke dalam masjid (Masjidil Aqsa), sebagaimana ketika mereka memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa saja yang mereka kuasai"._
Maka dalam hal ini terkadang Al-Qur'an bukan saja dimaknai pada pemahaman akan eksistensi Tuhan, tetapi di sisi lain, Al-Qur'an pun mampu membuktikan suatu fenomena sebagai kekuasaan Allah, yang ada dalam kejadian alam semesta.
Dalam definisi yang lain, saya pribadi mengartikan shalat sama seperti membaca buku. Shalat dan membaca itu sama-sama memiliki banyak rintangannya. Saat wirid setelah solat, atau minimal shalat subuh atau shalat sunnah Tahajud pada sepertiga malam, mata kita selalu tergoda dengan rasa kantuk. Begitupun juga dengan membaca buku non-fiksi (khususnya), baru juga satu halaman dua halaman, mata sudah tak sanggup untuk menyimak lagi dan tidak fokus.
Namun, sisi positif dan manfaat yang dapat kita petik dalam membaca buku juga sama seperti shalat. Keduanya mampu memberikan kita pada jalan menuju "pemahaman". Bagi saya pribadi, membaca buku memang perjalanan intelektualitas, memahami materi baru, diksi-diksi baru, dan pemahaman serta cara pandang kita yang baru. Begitupun dengan shalat, semakin khusyuk shalat kita, maka kita seakan sedang berjalan menuju jalan intelektualitas Tuhan, pemahaman akan Tuhan, memahami tanda keberadaan alam semesta sebagai Sunnatullah. Seorang pembaca dan intelektual yang hebat bagi saya, adalah mereka yang tetap mempertahankan intelektualitas. Meskipun begitu di sisi lain, ia tetap mempertahankan pemahaman keimanan keagamaannya yang justru semakin khusyuk. Dengan begitu, maka ia mampu dan sampai pada "pemahaman" intelektualitas yang sempurna (Al-Insān al-Kāmil).
--
Komentar
Posting Komentar