"Sjech"; begitulah saya memanggilnya

Barangkali, kepasifan saya adalah sebuah tanda, yang membedakan bagaimana saya mengagumi dirinya diam-diam, atau sebuah tanda atas keputusasaan saya terhadap perasaan saya sendiri. Maaf jika saya lancang dan sekonyong-konyong, tapi mengaguminya adalah sebuah kalimat paling anarkis sekaligus amat sangat berat dan sulit. Sebab, setelah dia menjalin kebersamaan dengan yang lain, saya lebih cenderung menjadi manusia yang amat sangat dilematis dan melankolis, terutama saya tunjukkan melalui karya-karya sastra saya sendiri. Tak apa, setidaknya perasaan patah hati ini barangkali bisa menjadi ide dan gagasan saya dalam menulis (sastra), dalam menumpahkan keluh kesah saya kepada kata-kata yang belum sempat terucap, dalam menumpahkan luapan amarah saya kepada sebuah 'tulisan esai' karena barangkali saya tak bisa memilikinya.

Ah tapi, ide memiliki anda bukanlah hal yang tepat. Saya tak ingin menjadi seorang kekasih yang mengkapitalisasi anda dan juga hak hidup anda. Saya lebih senang mengaguminya diam-diam, tanpa perlu ia ketahui mengenai soal ini. Saya lebih senang menjadi teman yang bisa diajak berbagi cerita soal-soal intelektualitas, atau seputar hal-hal konyol yang membuat saya terkadang tersenyum. Ide menjadikan dia sebagai seorang kekasih, bukanlah hal yang tepat. Meskipun, ide puisi-puisi saya tentang seorang kekasih adalah merujuk pada bagaimana saya kehilangan dan menggambarkan dirinya. Tak apa, saya menikmati rasa patah hati itu. Saya pernah menonton catatan Najwa yang membahas puisi Sapardi Djoko Damono mengenai "Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana". Barangkali, ide saya sama seperti Joko Pinurbo (JokPin) yang mengungkapkan "aku mencintaimu dengan amat sederhana rupa-rupanya bukan aku cinta kamu dengan sederhana, justru yang amat sederhanalah yang menjadikan cinta itu sulit untuk bisa digapai. Sehingga bagi saya, aku mencintaimu dengan sederhana artinya adalah bahwa Aku Mencintaimu Amat dengan Sangat Sulit. Sulit untuk digapai apalagi untuk dimiliki". Sehingga menurut Martin Suryajana, Cinta itu bukan perkara 'kesenangan' saja, tetapi ada juga Cinta yang memiliki nilai estetika yang lebih dari sekedar Cinta yang 'senang-senang' saja. Rupanya, bahwa Cinta yang amat sulit, bahkan hingga membuat kita menjadi ringkih itu justru mengandung nilai estetika yang lebih. Artinya, bahwa cinta juga bicara soal kesulitan. Kesulitan pengungkapan, kesulitan bagaimana saya memberanikan diri, kesulitan bagaimana saya membuka pintu, dan "apakah saya siap?" siap menjalani patah hati dan dilematis yang tak ada habisnya. Dan ini adalah seni, nilai estetika mencintai dan mengagumi seseorang. Bahkan tak memiliki dia pun, setiap hari saya mengalami patah hati. 

Sejatinya, saya lebih menyukai anda tanpa perlu anda ketahui. Anggaplah, bahwa cara saya mencintai dia lebih mulia, ketimbang saya memaksakan diri harus terus terang soal isi hati saya sendiri. Patah hati yang saya rasakan adalah anugerah dan ide agar terus menulis. Barangkali tulisan saya mungkin hanya soal-soal spele, tulisan patah hati yang tidak ada apa-apanya. Tak apa, biarkan pembaca mengartikan itu sendiri. Yang jelas, apa yang termaktub dalam penggalan dan antologi puisi saya yang "ck, ah, apasih!", bisa membawa keharuan bagi mereka yang juga merasakannya. Barangkali, sastra saya bisa menjadi sesuatu yang membuat bulu kuduk merinding, seperti apa yang dikatakan oleh Acep Zamzam Noor. Saya tak perlu mengulanginya berkali-kali, tetapi, barangkali ini adalah penegasan bahwa, apa yang saya tulis adalah pelampiasan, rasa puas, yang jelas di dalamnya termaktub dari pengalaman bersama beberapa orang, termasuk anda, Syekh. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Bung

Post-Mo : A World We Need

Catatan Hitam, Lembar 1 : Memahami Anarkisme Alexander Berkman