Dilematisasi FNG; Membentuk dan Mewujudkan Kesadaran Gender
Sulitnya Membangun Kesadaran Gender di Kalangan Mahasiswa/i yang Patriarkis
Penulis: Azhar Azizah dan Hany Fatihah Ahmad (Activist or Founder FNG, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Kita seharusnya sadar masalah gender adalah masalah kemanusiaan. Mungkin sudah waktunya bagi kita untuk melakukan kampanye kesadaran gender, dimulai dari hal yang paling kecil di sekitar kita, hingga terdorong membangun etika kepedulian feminis dalam mewujudkan adanya kesadaran gender melalui kampanye dan solidaritas sosial tentang pentingnya pemahaman gender. Namun, pergerakan ini nyatanya menemukan dilematis. Kita dihadapkan pada beberapa tantangan dan masalah utama yang menjadi sulitnya masyarakat terpapar dengan pemahaman gender. Pertama, adalah menghadapi orang-orang yang anti-feminis. Kedua, adalah sulitnya menghadapi orang-orang yang terlanjur nyaman dengan budaya patriarkis.
Adapun problem terbesar yang dihadapi para feminis adalah sulitnya mengenalkan etika kepedulian feminis kepada laki-laki yang penting untuk dipahami dan diimplementasikan melalui kesadaran dan mewujudkan relasi gender. Kita melihat bahwasanya, solusi yang ditawarkan hanya berkisar pada domain perempuan saja. Perempuan selalu dituntut untuk menjadi rasional, pintar, cerdas, berani di samping tidak adanya solusi yang di tawarkan kepada laki-laki, 'bagaimana caranya supaya laki-laki juga ikut serta dalam pemahaman gender?'. Sehingga dampak akhir yang ditimbulkan bahwa pemahaman feminis ini tidak balance (seimbang), tidak merata dan tidak serta-merta diterima oleh segenap masyarakat. Masyarakat pun akhirnya menganggap bahwa 'feminisme hanya masalah perempuan saja'. Padahal sudah diterangkan berulangkali bahwa feminisme adalah suatu kerangka berpikir untuk mewujudkan adanya kesadaran gender yang berkeadilan dan setara, yang meskipun dipelopori oleh para perempuan, bukan berarti hal ini hanya berlaku pada domain perempuan saja. Ibarat dalam sebuah adagium Soekarno, "senasib seperjuangan", begitulah upaya mewujudkan kesadaran gender. Solusi mencapai kemerdekaan dalam mewujudkan kesadaran gender adalah pekerjaan rumah dan tanggung jawab manusia yang tidak pernah habis untuk diperjuangkan, jika masyarakat masih belum sadar akan pentingnya memahami gender dan problematikanya.
Ada beberapa tema utama yang menjadi sulitnya pemahaman gender diterima oleh beberapa kalangan :
1. Adanya Stigmatisasi dan GAP dalam Diskusi
Keresahan saya bersama seorang rekan dimulai dalam melakukan hal paling kecil, yaitu pembentukan adanya literasi dan diskusi terbuka gender yang bisa diikuti oleh siapapun (Forum Ngaji Gender). Maka pembentukan forum ini berupaya untuk mengenalkan pemahaman gender kepada mereka yang ingin atau merasakan keresahan yang sama dalam menghadapi gender dan problematikanya. Namun lagi-lagi kami pun mendapatkan dilematis dalam sebuah diskusi, yakni adanya stigmatisasi yang merujuk pada perempuan hingga menyebabkan adanya GAP, yang menganggap bahwa "gender hanya membahas dan terbuka bagi persoalan perempuan saja". Padahal jelas sekali, ketidakmauan mereka berkecimpung dalam literasi dan diskusi gender, serta menganggap bahwa gender hanya untuk perempuan adalah problematika dan ketimpangan yang tidak pernah mereka sadari. Dan naasnya mereka tidak menyadari atas GAP yang mereka lakukan tersebut. Pada realitasnya, hal ini biasa kita lihat kepada rekan laki-laki.
Adapun masalah selanjutnya yang menjadi sulitnya mengenalkan gender ke permukaan adalah banyak dari mereka yang terlanjur nyaman akan ketidakberdayaan diri dan ketidaktahuan gender, tak ada hasrat dan kemauan dalam memunculkan kesadaran gender, menyerah pada ketidakadilan budaya patriarkis yang sudah melekat sejak dahulu hingga hari ini. Hingga akhirnya terjadilah kemafhuman inferiority dalam diri mereka. Merasa rendah dan rasanya terlalu sulit untuk berkecimpung dalam mengenal 'kesadaran gender' karena dianggap berbahaya sebagai 'penentang' budaya patriarkis dalam wacana feminisme. Dampak akhir yang ditimbulkan adalah ketidakmauan mereka ikut serta dalam diskusi gender, membaca gender yang akhirnya gender sulit untuk dikenalkan dan dimunculkan ke permukaan. Ini biasa kita rasakan kepada rekan perempuan.
2. Salah Kaprah dalam Memahami Pengertian Gender
Faktor yang menjadi sulitnya mempromosikan kesadaran gender adalah masih banyaknya orang-orang yang beranggapan bahwa, gender seringkali dikaitkan dengan jenis kelamin (seks), sehingga konsep gender pun sulit diterima bahkan tak ingin disentuh oleh masyarakat karena dianggap terlalu 'sensitif'. Padahal gender dan seks sesungguhnya mempunyai definisi masing-masing yang berbeda. Gender adalah keseluruhan karakteristik (maskulin-feminim) yang terdapat dalam jati diri laki-laki dan perempuan yang sifatnya bisa dipertukarkan, sementara seks merujuk kepada keadaan biologis laki-laki dan perempuan yang berbeda, tidak bisa dipertukarkan karena sudah merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan yang absolut.
Dengan adanya anggapan yang demikian, maka definisi antara gender dan seks sesungguhnya telah bercampuraduk dan keliru. Artinya bahwa definisi gender kerapkali ‘disamakan’ dengan kata seks.
Dalam kontruksi yang demikian, hal ini akan segera menimbulkan pengertian gender yang selalu didasarkan pada pengklasifikasian jenis kelamin (seks) secara biologis (Baca: Jati Diri Perempuan dalam Islam-Etin Anwar). Inilah buah dari adanya ketidakadilan gender yang sulit sekali dihilangkan. Percampuran ini tentu sulit sekali dilepaskan dalam diri mereka masing-masing, ketika masyarakat belum memahami dengan benar sepenuhnya pengertian seks dan gender itu sendiri dan masih memakai atribut androsentris-egosentris, sehingga normalisasi budaya yang bias serta di dasarkan atas pembedaan jenis kelamin masih terjadi hingga hari ini. Ini membuktikan bahwa kajian tentang Gender belum sepenuhnya menyentuh dan dipahami betul oleh masyarakat, terutama masyarakat akar rumput (grass roots society).
Seandainya saja feminisme tidak dimonopoli oleh penjajah dan imperialisme barat yang melakukan politik representasi dalam menggambarkan Islam dan perempuan Muslim sebagai The Liyan (yang lain), lalu membawa wacana ini kepada media dan literatur Barat dengan menggambarkan mereka sebagai yang paling tertindas melalui penggunaan logika kolonial superioritas Barat dan inferioritas Dunia Ketiga, mungkin kita sudah sudah mau berbaur bahkan mewujudkan kesadaran dan keadilan gender yang baik (Baca: Etin Anwar-Feminisme Islam). Sebab sebelum datangnya penjajah, Islam sudah datang lebih dulu mengenalkan adanya kesadaran dan egalitarianisme gender itu sendiri yang bahkan dipelopori melalui seorang laki-laki, yakni Muhammad Saw meskipun saat itu belum dinamakan sebagai feminisme, tetapi lebih kepada emansipasi. (Baca: Kemuliaan Perempuan dalam Islam-Musdah Mulia).
Mungkin dengan seperti ini, masyarakat akan mudah menerima feminisme dan konsep spirit egalitarianisme gender. Namun sayangnya, mereka terlalu larut dalam nyamannya ketidakberdayaan diri akibat budaya patriarkis-hierararkis yang superioritas dan telah lama mengakar. Islam mungkin bisa saja memproduksi keadilan gender, tetapi kita tidak bisa menghindari bahwa ‘Al-Qur’an berpotensi untuk bisa dibaca dan ditafsirkan secara patriarkis’. Oleh sebab itu, akar patriarkis-hierarkis tetap melekat kuat dalam sebuah ayat dan dampaknya akan menimbulkan prinsip egalitarian akhirnya tercerabut. Sehingga dalam hal ini Al-Qur’an kadangkala menimbulkan penafsiran yang bias.
Upaya mewujudkan kesadaran gender tentu saja adalah suatu pergerakan evolusi yang bertahap dan akan selalu dibutuhkan. Melalui pendidikan berbasis gender, adalah solusi utama yang perlu diperkenalkan kepada setiap orang untuk memahami bahwa masalah gender dan ketidakadilan gender adalah masalah kemanusiaan yang harus diperbaiki secara kooperatif. Semoga, dengan adanya diskusi gender (Forum Ngaji Gender) sejatinya bisa tampil sebagai wadah yang mampu menjadi rumah yang dapat disinggahi oleh semua insan. Sehingga dilematis membangun dan mewujudkan kerangka kesadaran gender perlahan digantikan dengan upaya mewujudkan adanya kesadaran gender secara kooperatif dan tanggung jawab manusia bersama yang inklusif.
Komentar
Posting Komentar