Hancur Lebur Demonstrasi
Apakah Sudah Pantas Kita Turun ke Jalan?
Penulis: Azhar Azizah (Mahasiswi Biasa Belum Lulus)
Maaf, judul di atas nampaknya adalah satir buat mbak-mbak yang ikut demo kemarin (11 April 2022). Tetapi alangkah baiknya jika mbak-mbak atau pun mas-mas yang ikut serta bikin poster kemarin menyimak tulisan ini terlebih dahulu, supaya saya tidak dicap 'asal tuduh' atau 'bias gender'.
Pertama-tama yang perlu saya tekankan, bahwa demonstrasi adalah hal ihwal kewajiban mahasiswa dan mahasiswi ketika melihat dan merasakan adanya suatu kondisi, aturan dan pemerintahan yang despot, eksesif dan tidak adil. Hal ini kemudian berdampak pada keadaan masyarakat yang semakin merosot dan tidak diuntungkan pada sebuah kebijakan. Sebab demonstrasi adalah aspirasi penyampaian suara rakyat yang harus di dengarkan, bukan ajang cari muka supaya ngetrend. Tetapi meskipun cuma ingin ngetrend saja ya tidak masalah, selagi para demonstran ini tau tujuan aksi dan paham dengan apa yang ingin disuarakan maupun situasi yang ada disekitarnya.
Sungguh, saya tidak bermaksud untuk menjatuhkan teman-teman mahasiswi turut serta dalam demonstrasi kemarin. Justru saya bangga dan sangat mengapresiasi usaha kalian untuk bersama-sama turun ke jalan, karena akhirnya kalian merasa 'sadar akan keterpanggilan'. Merasa sadar bahwa ini perlu disuarakan, meskipun memang kadang pemangku kebijakan agak budeg atau pura-pura budeg untuk mendengarkan aspirasi kalian. Ibarat dalam sebuah adagium 'masuk kuping kanan keluar kuping kiri', ya begitulah kira-kira pemerintahan hari ini.
Hanya saja teman-teman mahasiswi, seharusnya kita tahu bahwa bukan hanya persoalan suara rakyat saja yang harus didengarkan, bukan hanya persoalan biar ngetrend turun ke jalan, tetapi teman-teman juga harusnya mengerti dan melihat situasi demonstrasi yang penting untuk diperhatikan. Karena diam-diam tanpa kita sadari, banyak pelanggengan sistem patriarki yang merendahkan eksistensi teman-teman sebagai perempuan yang dilakukan oleh teman-teman mahasiswa (para demonstran), para media atau pihak-pihak lain bahkan teman-teman mahasiswi sendiri dalam aksi demonstrasi kemarin. Tentu hal ini memang tidak terduga, tetapi teman-teman mahasiswi seharusnya bisa membaca situasi ini. Jangan sampai kita mengikuti arus, terpengaruh massa, dan menormalisasi adanya penyimpangan dan pengobjektifikasian terhadap perempuan. Namun naasnya hal ini terjadi dan didukung oleh teman-teman mahasiswi sendiri. Misalnya seorang mahasiswi yang dengan bangganya memegang poster 'Lebih Baik Bercinta 3 Ronde Daripada 3 Periode' atau seorang mahasiswi lain yang juga memegang poster 'Lebih Baik 3 Istri Daripada 3 Periode'. Hal ini kemudian viral dan banyak diposting oleh rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi, terutama para mahasiswa.
Saya sebagai sesama perempuan sangat menyayangkan hal ini. Padahal jelas sekali narasinya terdapat poin-poin satir dan seksis yang merendahkan eksistensi dirinya sebagai perempuan. Meskipun saya tau itu hanya demi tren biar terlihat keren. Hanya saja, apakah pantas teman-teman mahasiswi dikenal dalam demonstrasi 11 April kemarin hanya karena poster 'Lebih Baik Bercinta 3 Ronde' atau 'Lebih Baik 3 Istri'? Dan apakah tidak ada narasi yang lebih bagus untuk mengecam pemerintahan tanpa menggunakan kalimat yang mengobjektifikasi kita sendiri sebagai perempuan dalam narasi yang dibuat? Tentu ini harus jadi pertimbangan dan pembelajaran bersama, sebab hal ini menunjukkan bahwa masih adanya penyimpangan gender yang dilakukan oleh sesama rekan mahasiswa maupun narasi berita di media bahkan rekan mahasiswi sendiri, sedangkan di sisi lain tidak adanya kesadaran akan penyimpangan gender yang dialami oleh rekan mahasiswi sendiri.
Jangan sampai tujuan demonstrasi yang semula menyampaikan aspirasi dan keresahan rakyat berbelok kearah isu-isu penyimpangan gender, apalagi hal ini di dukung oleh media cetak ataupun elektronik yang kemudian viral dan menjadi bahan sorotan utama selain kasus 'Ade Armando'. Bagaimana kondisi di lapangan? Dan bagaimana kondisi aspirasi rakyat? Apakah sudah tersampaikan? Saya yakin hanya segelintir orang yang tau, daripada kasus Ade Armando dan para mahasiswi yang viral memegang poster seksis kemarin.
Para demonstran seharusnya mampu menjadi penyambung lidah rakyat kepada pemerintahan. Sedangkan demonstrasi harusnya bisa menjadi momen sejarah yang baik pada kerja kooperatif tanpa adanya penyimpanan gender yang diam-diam terselubung meski dalam sebuah poster sebagai alat peraga perangkat aksi. Meskipun begitu teruntuk teman-teman mahasiswa, terima kasih telah turun ke jalan menyampaikan aspirasi dan keresahan kami, dan beri pemahaman yang baik dan tidak menjatuhkan pihak lain. Sedangkan untuk teman-teman mahasiswi, terima kasih juga telah turut terpanggil ikut serta dan berani turun ke jalan bersama-sama menyampaikan aspirasi dan keresahan kami, dan tolong kalau aksi juga bawa paham bukan hanya sekedar bawa muka dan nama untuk cari followers agar viral lewat poster seksis dan satir. Sebab demonstrasi yang baik adalah didasarkan pada kepedulian bersama, melindungi bersama, keresahan bersama, tujuan bersama, kerja bersama, dan bukan kepentingan pribadi.
Demonstrasi bukan persoalan mengecam pemerintahan yang despot, demonstrasi juga adalah persolan mengecam ketidakadilan atas nama kemanusiaan. Ketidakadilan bukan hanya bersumber dari pemerintahan yang despot. Ketidakadilan justru lahir dari akar yang paling bawah. Sebelum para demonstran mengecam sistem pemerintahan yang despot, sebaiknya berkaca terlebih dahulu, apakah sudah pantas kita turun ke jalan kalau kita sendiri masih melanggengkan ketidakadilan atas nama kemanusiaan?
Komentar
Posting Komentar