Antara Sastra dan Sejarah

Dua Guru Bangsa dalam Sumbangsih Wawasan Intelektual


Penulis : Azhar Azizah, penulis biasa.

Mungkin kecintaan saya pada sastra, atau kesukaan saya pada buku-buku sejarah tidak hanya terpengaruh pada puisi-puisi karya Aan Mansyur, Soe Hok Gie, Saini KM, Joko Pinurbo atau Acep Zamzam Noor. Mungkin juga tidak hanya karena membaca Catatan Harian Soe Hok Gie, Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer atau Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara. Tetapi mungkin ini berkat pengaruh dua guru bangsa saya sewaktu SMA, yang satu bernama Bu Hesti sebagai guru sejarah, sedang yang satu lagi bernama Bu Budi Rahayu sebagai guru bahasa Indonesia. Seperti yang kalian tahu dan seperti yang kalian lihat, saya anak IPS. Tak penting alasan saya menjelaskan mengapa saya memilih masuk jurusan ini, tetapi yang terpenting dua guru bangsa ini banyak memberikan sumbangsih atau jasa yang besar bagi peran intelektual saya pribadi, yang kemudian terpakai sampai detik ini dalam ranah atau situasi kampus Ciputat, surganya intelektual.

Bu Hesti. Saya lupa nama panjangnya siapa. Beliau adalah guru Sejarah Dunia. Dikenal galak oleh siswa-siswa di sekolah. Perannya tegas, medhok, dan tradisional khas wanita Jawa pada umumnya. Meskipun ia guru baru di sekolah, tetapi pengajarannya terasa begitu lama dan amat meresap. Setiap kali beliau menjelaskan, pandangan saya tak kemana-mana selain menatap beliau dengan rambut bob keriting, dan kulit sawo matang, serta tubuh gagah khasnya. Meskipun sejarah dunia bagi teman-teman sulit dipahami, daripada sejarah Indonesia. Bagi saya, tak ada yang sulit kecuali mengingat tahun sejarahnya, saya seringkali lupa. Saya masih mengingat semua itu, meskipun ada beberapa yang sudah lupa sebab tak membacanya lagi, mulai dari Perang Salib, Perang Dunia I ketika Gavrilo Princip merencanakan pembunuhan atas Archduke Franz Ferdinand, Perang Dunia II, Perang Dingin, Revolusi Oktober (Revolusi Bolshevik kelahiran Holocaust), sampai mempengaruhi merdekanya Indonesia sebagai Dunia Ketiga.

Mungkin beliau sadar diperhatikan tiap kali menjelaskan, hingga akhirnya saya merasa bahwa beliau juga memperhatikan saya. Bagaimana tidak, tiap kali UAS, saya mengingat dengan jelas setiap potongan-potongan sejarah tersebut, hingga akhirnya nilai saya selalu A saat ujian tengah semester (UTS) maupun saat ujian akhir semester (UAS), paling rendah mungkin 85. Tiap kali berbicara atau mengobrol dengan saya, beliau selalu menunjukkan ciri khasnya sebagai orang Jawa, "Loh iya toh, anak SMA sekarang harus banyak belajar. Gak cuma tidur main hp doang. Apalagi sejarah, yang susah diingat dan bikin ngantuk. Kalau hari ini anak SMA gatau sejarah, jangan harap bisa jadi anak IPS, jangan harap bisa menjadi anak bangsa. Kebangetan!". Bagi teman-teman saya, tiap kali beliau mengajar pasti akan membuat ngantuk. Bagiku, karena sifat dan pembawaan beliau yang tegas, rasanya untuk nguap saja harus mikir dua kali. Dan itulah Bu Hesti. Berkat beliau, saat ini saya masih menyukai buku-buku sejarah atau novel-novel sejarah, bahkan saya juga diam-diam suka mencari film-film sejarah, misalnya The Reader, The Imitation Game, The Shawsank Redemption, Pearl Harbour, The Theory Of Everything, The Grave Of Fireflies, Agora, Gie, G30SPKI, Senyap atau film-film Holocaust seperti Schindler's List, Life Is Beautiful, The Pianist, The Boys and The Striped Pajamas dan yang paling mengherankan sekaligus mengagumkan lagi, pekan lalu saya berhasil menyelesaikan buku bacaan berisi sekitar 600 halaman dalam waktu (+-) 1 bulan tentang sejarah perjuangan ulama dan santri dalam menegakkan NKRI yang berjudul Api Sejarah Jilid Kesatu karya Ahmad Mansur Suryanegara, (sekarang on the way Jilid Kedua). Meskipun saya bukan ahli sejarah, kemampuan membaca saya terhadap sejarah ternyata tidak bisa dihilangkan. Ini juga mungkin karena pengaruh Bu Hesti dan hobi saya yang mengulik-ngulik soal sejarah. Sejarah tidak akan membuat kita pusing atau mengantuk apabila kita senang memperhatikan kondisi atau peristiwa yang ada. Sebab bagi saya, membaca sejarah adalah perjalanan. Membaca sejarah, sama seperti kita sedang berada dalam sejarahnya. Memperhatikan setiap kata demi kata untuk bisa menyusup dan masuk dalam kabinet sejarah. 

Sedangkan Bu Budi Rahayu. Beliau adalah guru bangsa dan teman ngobrol yang asik, yang banyak memberikan sumbangsih intelektual bagi epistemologi ilmu kebahasaan dan kepenulisan saya. Alasan saya bisa menulis dan membuat sastra sampai saat ini, mungkin karena pengaruh beliau juga yang selalu bersikap persuasif terhadap saya dan teman-teman kelas sambil berlata, "karya tulis ilmiah dan sastra itu penting. Bagaimanapun akan kepakai sampai kamu kuliah nanti. Maka dari itu menulis dan membaca sastra itu ibarat mata uang, tak bisa dipisahkan dan kewajiban yang harus ditekuni pelan-pelan". Dan benar saja, hal itu memang terjadi. Saya akan dihadapkan dengan karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi yang tidak bisa saya hindari. Saya pun pada akhirnya mengenal Aan Mansur dalam puisinya yang berjudul 'Tidak Ada New York Hari ini, Melihat Api Bekerja', Ahmad Tohari melalui karyanya yang berjudul 'Senyum Karyamin, Orang-orang Proyek', Joko Pinurbo dalam puisinya yang berjudul 'Celana, Perjamuan Khong Guan', bahkan Pramoedya Ananta Toer dalam karya legendarisnya yang berjudul 'Bumi Manusia, Arus Balik, dan Calon Arang' dari beliau. Mungkin kesukaan saya pada sastra semakin meningkat, ketika saya mulai mengenal puisi-puisi Acep Zamzam Noor, Soe Hok Gie, dan Saini KM yang merdu. Tak mengenal sastra bagi saya adalah suatu kerugian yang besar. Sebab sastra pada akhirnya tak bisa menafikan hubungan antara manusia, bahasa, dan alam semesta. Sebab sastra tak akan membuat saya memiliki keberdayaan yang utuh dalam merangkai kata. Justru sastra bagi saya adalah kalimat pembebesan yang penting untuk dibaca. Menulis sastra adalah kepuasan, sedang membaca sastra adalah suatu keharusan.

Bu Budi telah mengenalkan saya pada bagaimana menyusun bahasa yang baik untuk membuat sastra, bagaimana itu bahasa persuasif, majas ironi, majas hiperbola yang kemudian berpengaruh pada cara penulisan sastra-sastra saya. Bu Budi dengan perawakan yang lemah lembut, tegas, gagah, berwibawa, dan medhok khas Jawa seperti Bu Hesti, membuat saya mengagumi sosok beliau. Saya kadang memandangnya bukan hanya sebagai guru bangsa, tapi juga sosok Ibu bangsa yang sabar terhadap anak-anaknya saat mengajar. Beliau tak pernah marah atau menyentak. Ucapannya selalu lugas, jelas, dan penuh akan makna intelektual. Pernah suatu hari ketika saya reuni ke sekolah, saya bertemu dengan beliau. Biasanya guru yang tak mengenal muridnya akan berkata, "kamu siapa ya?" Tapi, beliau berbeda. Ketika saya salim sambil mengucapkan salam, beliau langsung mengenali saya hanya dari sebuah wajah "lohh, kamu kan Azhar toh, temennya Adinda?" saya cukup kaget dan terharu. Ternyata meskipun sudah beberapa tahun berpisah, karena agenda kuliah, beliau masih mengenali saya sebagai muridnya. Sampai saat ini saya tidak tahu, apakah kedua guru itu masih mengajar di sekolah apa sudah pindah atau pensiun? Jika pun diberi kesempatan untuk bertemu, rasanya saya ingin mengucapkan salam sambil berkata "terima kasih banyak, Ibu".

Sampai saat ini, efek yang dihasilkan dari ajaran-ajaran dua guru bangsa tersebut, saya senang mengoleksi buku-buku atau film-film sastra dan sejarah. Adapun buku-buku yang mengubah cara pandang saya terhadap sastra puisi adalah buku-buku Acep Zamzam Noor dan Saini KM. Bahasanya sederhana dan cukup khidmat dinikmati. Teman-teman jika mulai menyukai sastra, bacalah buku-buku kang Acep terutama sebagai permulaan atau pengantar mengenal sastra, misalnya Tonggeret, Berguru Kepada Rindu, Membaca Lambang, atau Di Atas Umbria yang tak bisa dipisahkan antara konteks keindahan kalimat dan hamparan alam semesta. Adapun buku-buku sejarah yang mengubah cara pandang saya adalah buku Sarinah karya Ir. Soekarno, Catatan Harian Soe Hok Gie, serta Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara. Mungkin jika saya tak bisa berpendidikan, saya tak akan mungkin mengenal guru-guru bangsa tersebut. Dan mungkin, jika saya tak bisa mengenal Bu Budi dan Bu Hesti, maka saya tak akan mengenal kekayaan intelektual sejarah dan sastra. Begitulah perjalanan saya antara sejarah dan sastra. Berikut saya mungkin akan menjelaskan makna Feminisme Islam sebagai kiblat Perempuan atau pengaruh bagaimana Feminisme bisa mempengaruhi paradigma berpikir saya. 

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca, semoga kita tak melupakan jasa-jasa para guru-guru bangsa kita sebagai sebuah amal yang mampu menjadi pedoman hidup dan pedoman intelektual kita yang masih berguna sampai detik ini. 

--

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Bung

Post-Mo : A World We Need

Catatan Hitam, Lembar 1 : Memahami Anarkisme Alexander Berkman