Pesan Etis Al-Qur'an Membangun Kesalehan (Equality dan Equity): Ketakwaan Pada Allah SWT dan Kesetaraan Manusia
Manusia, yang mempunyai kesadaran untuk merendah, adalah manusia yang sadar akan prinsip Keesaan Tuhan (Tauhid). Sedang manusia yang ingin dihormati, ingin dituruti, ingin memerintah, bahkan berusaha mengenalkan citranya sebagai emanasi Tuhan yang paling tinggi, itu adalah cerminan manusia yang tidak tahu diri dan tidak tahu caranya berpikir. Sebab tidak ada kesadaran selain nafsu amarah.
Manusia hanyalah manusia untuk sadar merendah. Sedang yang Tinggi hanyalah Tuhan, Allah SWT. Yang Maha Esa.
-Rabi'ah Al-Adawiyyah-
---
Penulis : Azhar Azizah, penulis biasa.
Diam, membangun kesadaran, merangkai ketakwaan, merendah, mengendalikan akal, mengendalikan hawa nafsu, berbuat baik, berpandangan setara. Itulah ciri khas seorang sufi Rabi'ah Al-Adawiyyah. Ia tidak semata-mata diam, tetapi prinsip kesalehannya bergerak untuk mengharap ridha Allah SWT.
Betul, kita hanyalah manusia, kadang berbuat kerusakan, kadang berbuat salah, kadang pula benar. Tapi manusia yang tahu cara mengendalikan dirinya untuk mempertahankan kesalehan dan berbuat baik terhadap sesama, adalah manusia pilihan Allah. Ini bukan teks khotbah, tapi kiranya, saya perlu mencantumkan salah satu ayat yang benar-benar bias dalam Al-Qur'an, yakni QS. Al-Hujurat ayat 13.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa yang bias dalam ajaran Islam Universal, yang membedakan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya di mata Allah SWT adalah hanyalah ketakwaannya saja. Oleh sebab itu, barangsiapa berlomba-lomba mengharap ridha Allah, maka dialah yang paling mulia di sisi Allah. Disini, tidak ada pembedaan (discrimination) berdasarkan jenis kelamin. Kata 'siapa' pada dasarnya merujuk pada siapapun manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Maka dalam hal ini, Al-Qur'an bukan hanya membawa pesan etis yang final, tetapi pesan-pesan Al-Qur'an juga pada hakikatnya adalah dasar untuk membangun advokasi kesetaraan melalui pembentukan moral dan spiritual yang baik dalam membangun kesalehan terhadap laki-laki dan perempuan secara setara.
Kesalehan dan ketakwaan di sini bukan hanya membentuk hubungan yang baik pada Tuhan (habluminallah), tetapi ketakwaan yang dimaksud adalah membangun pula hubungan yang baik antara sesama umat manusia (habluminannas) dengan cara saling menghormati, kerjasama egaliter, dan menyadari prinsip kesalingpahaman. Maka dari itu, disinilah terjadi hubungan keseimbangan, antara manusia dengan Sang Pencipta, maupun manusia dengan manusia lainnya. Oleh sebab itu, tugas manusia baik laki-laki maupun perempuan ada dua. Pertama, tugasnya sebagai hamba Allah (abdullah) dengan cara menjalankan prinsip penghambaan hanya kepada ajaran tauhid, "Laa Ilaaha Illallah", mengambil perspektif Cak Nur yang artinya "tidak ada tuhan, melainkan Tuhan" atau "tidak ada Tuhan, melainkan Allah SWT, Sang Mahahakiki, Al-Haqq (Sang Kebenaran), dan Realitas Tertinggi". Kedua, tugasnya sebagai wakil Allah di muka bumi (khalifatullah fil ard) dengan cara menjalankan perintah Allah untuk berbuat baik kepada sesama, membangun dan merawat alam semesta dengan penuh kasih sayang dan kebaikan. Untuk itu, keduanya harus berjalan paralel dan seimbang, sehingga terciptalah Rahmatan Lil 'Alamin, yakni rahmat bagi seluruh alam semesta demi kebaikan bersama. Inilah prinsip egaliter dan equality gender dalam Islam.
Pesan etis Al-Qur'an tidak hanya membawa prinsip kesetaraan (equality) saja. Tetapi, pesan etis Al-Qur'an dalam ajaran Islam Universal juga mampu membawa prinsip keadilan (equity) yang sama rata. Sampai saat ini masih terjadi pembedaan (discrimination) dan hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Katakanlah, mulai dari poligami, hak waris, masalah kepemimpinan, dsb. Hal itu terjadi karena tidak adanya musyawarah, terjadinya dominasi, sering mengabaikan peran lain di dalamnya, sehingga timbullah konflik dan ketidakadilan gender.
Saya mencoba menganalisis kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dengan memakai Teori Fungsionalisme l-Struktural karya Robet K. Merton dan Talcott Parsons. Meskipun masih terdapat penghayatan terhadap status quo di dalamnya, tetapi ketika teori ini dipahami melalui prinsip kesalingpahaman, maka akan terciptalah hubungan yang egaliter, setara, dan berkeadilan antara laki-laki dan perempuan. Yang berbeda hanyalah ditingkat bagaimana peran itu hanya terstruktur saja, tetapi bukan berarti hal ini menghalalkan dominasi kekuasaan dan ketaatan penuh di dalamnya pada manusia. Sebab sepenuh-penuhnya ketaatan, hanyalah kepada Allah Al-Haqq. Ketika fungsi ini dipahami satu sama lain, maka akan terbentuklah kerja kooperatif dan kesalingpahaman (mutual understanding). Sebab, keduanya sadar untuk sama-sama bertanggung jawab dalam mencapai keseimbangan gender. Contoh peran ayah dan ibu dalam institusi keluarga adalah contoh dari teori fungsionalisme struktural yang bisa kita pahami. Struktur hanya terjadi antara nama 'ayah' dan 'ibu' sebagai simbol, tetapi keduanya berkomitmen dan sama-sama bertanggung jawab untuk menciptakan keluarga yang baik (sakinah, mawaddah, warahmah). Jika pun terjadi pergeseran antara ayah dan ibu dalam wilayah pekerjaan, misalnya ibu memilih sebagai pekerja, dan ayah memilih mengurus rumah tangga akibat telah pensiun, jika mampu dipahami dan terjadi keseimbangan dan kesalingpahaman di dalamnya untuk merawat keluarga yang baik, maka hal ini akan membentuk keadilan gender. Tetapi, jika terdapat pergeseran dalam wilayah kodrat, hal ini tidak bisa (ekslusif). Sebab yang bisa dipertukarkan hanyalah peran gender bukan peran kodrat. Ayah tak bisa menggantikan peran kodrat ibu untuk melahirkan, menyusui, dan mengalami menstruasi. Begitu peran ibu, tak bisa untuk menggantikan peran kodrat ayah untuk mengeluarkan sperma, mempunyai jakun, ataupun mempunyai penis. Inilah status quo dalam teori fungsionalisme-struktural dalam analisis saya.
Kembali pada prinsip keadilan (equity) dalam Islam, sepertinya kita harus mencermati beberapa pembagian yang diterangkan dalam Al-Qur'an. Pesan Al-Qur'an memang sudah murni dan final, tapi interpretasi Al-Qur'an nyatanya masih terdapat ketidakcermatan. Saya menyoroti ayat Al-Qur'an tentang kepemimpinan, dimana diterangkan bahwa "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". Ayat ini menegaskan dengan jelas kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Namun, bukan dalam arti hal ini mutlak bahwa kepemimpinan hanya ada di tangan laki-laki. Sebab, perempuan sebagai sesama khalifatullah fil ard juga mempunyai kewajiban untuk sama-sama memimpin dalam kebaikan. Kewajiban laki-laki dalam memimpin mensyaratkan bagaimana caranya memimpin yang baik. Memimpin yang baik dalam arti, membimbing pada kebaikan, pada ketakwaan hanya kepada Allah. Seorang pemimpin yang baik, adalah pemimpin yang mempunyai jiwa primus interpares, yakni pemimpin yang bijaksana dan mengarahkan pada kebaikan bersama. Oleh karena itu, pemimpim yang baik, adalah pemimpin yang tidak mendominasi, tidak berbuat ketidakadilan, tidak berbuat pada kemungkaran, memelihara hubungan yang harmoni antara Sang Pencipta dengan alam semesta dan manusia. Sedangkan, fungsi dan perjuangan perempuan adalah melahirkan fondasi kemanusiaan dengan penuh perjuangan antara hidup dan mati. Mulai dari hamil selama 9 bulan, melahirkan, menyapihnya selama 2 tahun, mengalami nifas, mendidik dengan penuh kebaikan dan kasih sayang, mengalami menstruasi yang tidak tertahan, yang semua itu tidak bisa digantikan oleh laki-laki.
Saya tidak bermaksud membedakan mana yang kodrat dan mana yang gender, dan juga tidak berusaha untuk mensuborordinasikan peran perempuan. Tapi dua bagian ini telah tersusun supaya, laki-laki dan perempuan sama-sama berkontribusi pada perjuangan bersama. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya manusia sama-sama bertanggung jawab dalam memelihara kesetaraan dan keadilan bersama. Sebab kedua perjuangan ini sama-sama berat. Belum tentu ada sebaik-baiknya pemimpin yang mampu memimpin, berlaku bijaksana, dan adil. Belum tentu juga ada beberapa nyawa yang dapat diselamatkan selama kurang lebih satu tahun berjuang mempertahankan fondasi kemanusiaan, baik nyawa untuk dirinya sendiri maupun nyawa manusia dalam perutnya.
Tidak ada siapapun kedudukannya yang lebih tinggi, melainkan kedudukan Tuhan. Yang ada hanyalah prinsip 'kesalingan' untuk sama-sama mengayomi, saling memahami, dan menghormati sesama manusia untuk mencapai pesan etis Al-Qur'an menuju kesetaraan manusia. Sebab laki-laki dan perempuan sama-sama berjalan membangun prinsip kesalehannya dan kesetaraan bersama untuk mengharap ridha dan ketakwaan hanya kepada Allah SWT.
--
#equalityequity
#islamrahmatanlil'alamin
Komentar
Posting Komentar