Dari Pergolakan Hingga Kembali Pulang ke Haribaan

Mencari Pergolakan-Anarkisme Hingga Kembali Pulang ke Rumah-Islam


Penulis : Azhar Azizah, Beban orang tua yang sedang berjuang skripsian


Saya semacam seorang anak remaja yang sedang mencari tahu, rasa penasaran saya untuk mengenal sesuatu yang ekstrim ketika awal-awal memasuki bangku kuliah, misalnya "apa itu demonstrasi? apa itu aliansi? mengapa rakyat marah? mengapa semua orang marah? mengapa terjadi pemberontakan?" lalu "apa itu anarkisme? apa itu kapitalisme? apa itu negara? apa itu otoritarianisme? apa itu despot? apa itu marxisme? apa itu kelas? apa itu utopis? apa itu komunisme? apa itu pemberontakan? siapa para pemberontak itu? siapakah Goldman? siapakah Berkman? siapakah Bakunin? siapakah Marx? siapakah Engels? siapakah Gramsci? siapakah Ferrer?" kemudian, "mengapa penting mempelajari logika dan filsafat? apa itu filsafat?, "siapakah Thales? Siapakah Plato dan Aristoteles? siapakah Sokrates? siapakah Machiavelli? siapakah Bruno? siapakah Hegel? siapakah Decart? siapakah Kant? siapakah Sartre? siapakah Nietzsche?" Saya terus mencari apa itu, dan siapa itu. 

Hingga saya mengalami suatu krisis momen, menyangkal semua yang ada, termasuk Tuhan itu sendiri. Hal ini disebabkan saya seperti seorang anak remaja, gemar mencari tahu, hingga akhirnya saya seperti anak remaja, mudah terpengaruh. Tapi, Tuhan nyatanya tak mau saya hilang arah dan kebingungan sendiri. Hingga akhirnya saya tertarik untuk mengenal "apa itu feminisme? apa itu feminisme-anarkis? apa itu feminisme-liberal? apa itu feminisme-radikal? mengapa mereka berani menentang meskipun perempuan? mengapa mereka marah pada keadaan?" hingga akhirnya saya membaca sejarah, sejarah perempuan dalam kacamata Indonesia, kemudian saya mengenal "mengapa Kartini adalah pelopor emansipasi? mengapa Cut Nyak Dien menjadi pelopor kemerdekaan perempuan pertama dalam Islam-Indonesia? bagaimana Islam itu? mengapa orang-orang Islam ini berbeda? apa itu islam fundamental? apa itu Islam moderat? dan apa itu Islam liberal? mengapa ada feminis Islam? mengapa Islam sebegitu mengejawantahnya dalam kehidupan umat manusia? mengapa ada syariat? mengapa perempuan penting dan harus memakai jilbab? apa itu Islam dan budaya? apakah keduanya bercampur atau memisah?" hingga yang sedang saya perjuangkan adalah pertanyaan mengenai "mengapa ada kesetaraan spiritual dan etis? mengapa laki-laki dan perempuan harus memiliki relasi kesalingan? apa makna Islam sebagai ajaran inklusif? apa makna sesungguhnya Tauhid? apa makna dibalik 'rahmatan lil 'alamin'?" semua pertanyaan itu tergantung dari rasa penasaran kita, lingkungan kita berproses, dan apa yang sedang kita baca.

Bacaan sangatlah berpengaruh terhadap pola berpikir seseorang. Saya pernah membaca buku Atheis-Empat Penunggang Kuda serta jurnal-jurnal fundamentalisme atheis lainnya, dan memang bacaan-bacaan itu sangat memberikan efek atau pengaruh yang cukup ekstra untuk menyelami makna Tuhan. Hingga hal itu membuat saya merasa meragukan iman dan kepercayaan eksistensi Tuhan, meragukan orang-orang yang berdoa sambil menangis meminta harap, saya dulu berpandangan seperti Freud, bahwa mereka sama halnya seperti orang yang mengalami neurosis. Radikal! Ternyata, efeknya lebih parah daripada saya mengenal anarkisme. 

Proses berpikir yang empiris tidak cukup untuk mengenal Tuhan, oleh karenanya, saya disodorkan buku bacaan filsafat, bahwa berpikir tidak hanya mengedepankan proses empirisme, tetapi juga rasionalitas. Lalu dalam mendalami rasionalitas itu pula, saya tertarik menyelami tulisan Prof. Mulyadhi Kartangera. Bahwa akal itu berjumlah 10, akal ke-10 adalah malaikat Jibril yang menyampaikan melalui ilmu dan pengetahuan, seperti halnya dia menyampaikan wahyu kepada Rasul. Dari situ saya kemudian tertarik mendalami tasawuf-mistitisme khususnya pemikiran 'Ibn Al-Arabi melalui pemikiran analogi kosmologi Taoisme. Pikiran saya diajak berkeliling untuk menyelami dan memahami hakikat alam semesta beserta segala isinya. Hal ini membuat saya kembali kepada makna Al-Qur'an, kembali keharibaan pada Islam yang mempunyai kaya makna dan cinta. 

Zaman pergolakan mengenal "apa itu anarkisme", hingga kembali keharibaan memperkuat ketertarikan saya mengenal Islam. Bahwa nyatanya proses ini yang mengantarkan saya kembali untuk bangga menjadi Muslim yang inklusif. Saya tak mau menyebut saya Islam radikal-fundamental, Islam modern, atau Islam-liberal. Saya lebih suka menyebutnya sebagai Islam yang inklusif. Tapi masalah keimanan, sudah sepatutnya saya setuju seperti yang dikatan Prof. Media Zainul Bahri, adalah ekslusif. Tapi dalam memaknai Islam, harus dilihat sebagai ajaran yang terbuka pada kebaikan dan rahmah (kasih sayang) Ilahi. 

Saya bersyukur, masih dikelilingi dan sering diberitahu orang-orang yang masih gemar membaca dan menulis. Hingga akhirnya saya juga tertular menyukai kebiasaan mereka. Salah satu pegangan yang masih saya pegang hingga hari ini dan membuat diri terdorong tetap merdeka adalah "membaca, menulis, dan diskusi" itu saja. Dan maaf, saya juga bukan si kutu buku, saya masih amatiran, nyatanya saya masih sama seperti seorang remaja atau pengembara, saya masih terus mencari kedalaman makna atau mungkin menemukan makna-makna baru, saya merasa tak puas dan selalu ingin mencari hal-hal baru. Kita tidak berbeda, kita bukan mencari siapa yang paling unggul dalam hal ini, kita semua sedang sama-sama belajar, mencari tahu sesuatu yang tidak dapat kita temukan sendiri jawabannya.

Barangkali jawaban-jawaban itu dapat kita temukan di setiap halaman buku, di setiap tongkrongan, di setiap forum kajian, di setiap dialog, di setiap momentum pertemuan yang merenggut kita mencari jawabannya. Ketahuilah, kita semua adalah pengembara yang sedang haus mencari, atau kita semua adalah anak remaja yang penasaran mencari sesuatu. Saya tidak ingin mengajarimu cara bagaimana menjadi seorang anarkis, cara bagaimana menjadi seorang kapitalis, cara bagaimana menjadi seorang marxis, cara bagaimana menjadi seorang filsuf, cara bagaimana menjadi seorang feminis, atau cara bagaimana menjadi seorang islamis. Tetapi saya hanya ingin memberitahumu bahwa bacalah apa yang ada di hadapanmu, situasi, buku, atau kitab yang terbuka. Pahamilah makna dibalik apa yang kita cari, bukan mengimani suatu makna. Dengan begitu, kita jadi tahu, bahwasanya kita masih tidak tahu apa-apa. Kita masih kecil di antara ilmu-ilmu itu. Kita diajarkan untuk kembali menunduk, bahwa kita tak pernah punya apa-apa selain hasrat untuk terus mencari. 

-end.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Bung

Post-Mo : A World We Need

Catatan Hitam, Lembar 1 : Memahami Anarkisme Alexander Berkman