Alienasi dan Rekognisi dalam Organisasi Mahasiswa Analisis Pemikiran Axel Honneth

Penerapan Teori Pengakuan dan Keadilan Axel Honneth


Penulis : Hakim Al-Kindi, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam-Semester 4, Penggiat LIAR dan FNG

Sering kali dalam organisasi mahasiswa (selanjutnya disingkat ‘ormawa’), kita mendengar keluhan, seperti “aku tidak betah lagi, ormawa ini tak memberiku tempat untuk berkembang”, “mereka, para anggota, tidak solid sama sekali. Aku merasa tidak dianggap di dalamnya”, hingga ujaran “aku keluar saja deh dari organisasi ini”. Tentunya pelbagai keluhan yang demikian itu tak keluar tanpa sebab. Ormawa sebagai wadah tumbuh-kembang sebagian mahasiswa/i sudah seyogianya menampung apa-apa yang menjadi keresahan para kader. Fenomena di atas memang ironis, mengingat dalam beberapa AD/ART organisasi umumnya tercantum etika (pedoman) kaderisasi. Objek kajian yang akan dibahas dalam tulisan ini terbatas pada aspek komunikasi intersubjektif saja yang nantinya dielaborasikan dengan teori rekognisi Axel Honneth¹—bagaimana ia membaca peristiwa ketidakadilan. Solusi yang akan ditawarkan pun menggunakan kerangka berpikir a la Honneth sambil lalu mengapropiasikannya dalam konteks tertentu

I. Terjadinya Alienasi

Berikut penyebab fakta alienasi kader tersebut bisa terjadi. Pertama, tiadanya komunikasi yang baik antar kader satu sama lain. Sehingga komunikasi, apa pun bentuknya, berjalan sepihak, kalau bukan terdistorsi. Kedua, elitisme dalam organisasi itu sendiri: perasaan unggul dan paling unggul daripada yang lain. Watak sombong di samping menjengkelkan betul, namun, lebih daripada itu memberikan dampak terhadap kader lainnya. Misalnya, penganakemasan senior kepada junior tertentu, atau sebaliknya. Hal ini memicu tumbuhnya satu kelompok baru dalam satu wadah yang sama, ironis, bukan? Yang nomor satulah yang selalu mendapatkan benefit secara teknis, lain daripada mereka akan tenggelam dalam ‘kelas’ rendahan yang tak sebanding dengan kelompok elite. Kemudian alienasi timbul sebagai konsekuensi dari ketimpangan kelas yang terjadi.

Ketiga, alokasi pemberdayaan yang tidak merata dan sesuai terhadap kebutuhan (needs) kader. Banyak kader yang tidak mendapat hak untuk berkembang dalam organisasinya sendiri, misalnya peluncuran program formal semacam forum diskusi. Benar bahwa forum diskusi pada drinya merupakan ruang diskursus nan elaboratif terbaik, namun tak dimungkiri kalau ada beberapa orang tak segan dengan kajian tersebut. Nah, di sinilah letak kerumitannya, di ujung sini menganggap dan memukul rata bahwa semuanya perlu berdiskusi; di ujung sana tetap teguh pada pendiriannya—diskusi tidak sepenting kelihatannya. Masih banyak aspek kemahasiswaan yang perlu dipelajari dan diakomodir oleh organisasi sendiri, entah itu olahraga, abdi masyarakat, bakti sosial, atau acara refreshing yang diadakan secara formal-resmi. Terlepas dari obsesi masing-masing anggota, yang jadi masalah apabila hak-hak mereka tidak terdistribusikan secara penuh.² Akibatnya suatu kegiatan tak berjalan sepenuh hati, dan [lagi-lagi] merasa terabaikan dari wadah mereka sendiri.

II. Menelaah Keadilan

Ketiga sebab yang telah disebutkan bila diringkas dapat dipahami sebagai ketidakadilan. Berbicara tentangnya tentu tidak lepas dari pertanyaan ‘apa itu keadilan?’ Sebab acapkali kita tidak mendapatkan pengertian yang utuh tentang ‘adil’, ada yang mendefinisikannya sebagai kesamarataan hak dan pemenuhannya, kemudian persamaan konstektual pada tiap-tiap individu, dan lain sebagainya. Anehnya, pengertian adil sebagai kesamaan atau ‘sama rata sama rasa’ praktis menghadapi kebuntuan ketika diterapkan. Sebagai contoh, kader A membutuhkan teknologi (gadget) yang memadahi untuk proses digitalisasi demi promosi organisasi di mana membantu persebaran informasi kepada para peminat. Di lain pihak, kader B menginginkan iuran yang cukup untuk membantu kader lain yang kesulitan dalam melunasi UKT, sebab kemiskinan menjadi masalah utama di sana. Apabila kita mengamini keadilan sebagai kesamaan: hendak diseragamkankah kebutuhan mereka? Apakah kader B diberi gadget pula layaknya kader A, sementara kebutuhan administratif kuliah lebih penting ketimbang teknologi untuk distribusi informasi menurut kader B? Lebih jauh, ukuran apakah yang dapat diterapkan sehingga sesuatu itu disebut sama secara adil? Pada sisi manakah kesamaan itu mau diaktualkan? Kalau begitu kesamaan yang mana yang dimaksud, kebutuhan (goods), kesempatan (opportunity), atau kapabilitas (capability)?³

Pertanyaan-pertanyaan pelik di atas sebenarnya sudah diajukan lebih dahulu oleh Ronald Dworkin. Nantinya akan dikaji lebih lanjut oleh Amartya Sen, bahwa ia memihak keadilan sebagai persamaan kapabilitas. Ya, Sen merasa apabila sama ratanya kapabilitas mampu menciptakan masyarakat yang adil. Jadi tiap-tiap individu mempunyai kemampuan yang sama dalam merealisasikan cita-citanya. Sekilas sepertinya tidak ada masalah dalam rumusan keadilan Sen. Tapi dengan lebih jeli, suatu enigma muncul daripadanya, apakah itu? Jika keadilan adalah equality of capability, persoalannya equal capabilities [or opportunities] for whom? Samakah di kesempatan yang dimiliki oleh mereka yang mempunyai previlese dengan yang tidak? Pihak manakah yang dimaksud memiliki kapabilitas itu, semua orang kah, atau hanya mereka yang mampu? Indikator kemampuannya pun belum jelas, sebab sampai batas mana orang tersebut dikatakan bisa merealisasikan potensinya?

Teranglah bilamana pengertian keadilan belum definitif atau final. Sebab dalam beberapa kasus, ketika teori keadilan tersebut diaktualisasikan malah terlihat non sense— menghadapi masalah karena dirinya sendiri. Kalau begitu, bagaimana keadilan itu seharusnya dipahami?

III. Keadilan dan Kaitannya Pengakuan

Seorang filsuf kritis abad ke-21, Axel Honneth, dengan begitu cerdas merumuskan keadilan sebagai rekognisi. Rekognisi macam apa yang dimaksudkan Honneth tersebut? Ia menawarkan sebuah konsep mengenai keadilan yang segar dan baru dalam tradisi filsafat Barat—yang umumnya berkutat pada kesetaraan, kesamaan, dlsb—yakni justice as recognition (keadilan sebagai pengakuan) (Honneth, 2004; bdk. Sitorus, 2022, p. 342). Pengakuan di sini ditujukan kepada diakuinya hak-hak individu dalam komunitas.

Mengapa harus rekognisi? Perlu dicatat bahwa Honneth memandang manusia sebagai makhluk sosial. Ia tak bisa lepas daripadanya; manusia sedang dan selalu dikondisikan oleh sekitarnya. Contoh sederhananya, ialah depedensi manusia dengan bahasa sebagai bentuk kebutuhan akan komunikasi.⁴ Akan tetapi Honneth menarik ke ranah personal kita: identitas individu. Di sini identitas dipahami sebagai hasil dari komunikasi intersubjektif yang sifatnya resiprokal (timbal balik): adanya yang lain turut menentukan diriku (Tom o’ Brien, n.d., p. 65). Bahwa ada tiga unsur yang nantinya membentuk identitas individual kita. Apakah ketiga unsur tersebut?

Pertama, cinta kasih dan kepercayaan diri (self confidence). Cinta kasih di sini tidak terbatas pada cinta sepasang kekasih (erotic love), lebih luas daripada itu. Bahwa cinta itu dapat terjadi dan termanifestasikan dalam komunitas-komunitas kecil yang intensif, entah itu keluarga, teman seperjuangan, dan sebagainya. Tetapi mengapa cinta itu begitu penting? Dengan cinta kita memeroleh suatu bentuk keutuhan diri; perasaan bahwa kita dibutuhkan dan dibulatkan sekaligus. Dengannya seseorang menjadi lebih confident dalam menghadapi kehidupannya sendiri. Ketika unsur pertama ini terpenuhi, sebagai konsekuensinya kita akan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Misalnya, kader A merasa dinaungi dalam ormawanya, ia mendapatkan kehangatan seperti berada dalam keluarganya sendiri. Hal ini membawa dampak baik bagi kader A, di mana spirit ‘bekerja’-nya semakin ditopang. Ia percaya diri [sebagai hasil dari self confidence] bagaimanapun terpuruknya ormawa yang ia diami sekarang itu mampu untuk bangkit kembali. Kendati demikian, cinta kasih dapat direndahkan derajatnya, maksudnya dilecehkan. Tindakan seperti mengabaikan seseorang, kemudian bullying, dan perilaku diskrimatif lainnya mengancam keutuhan cinta dalam diri dan lingkungan kita.

Kedua, hukum dan respek diri (self respect). Regulasi normatif atau hukum yang legal juga menjadi pertimbangan bagi Honneth. Sebab adanya hukum memberikan payung perlindungan baik bagi korban maupun pelaku. Untuk lebih mudah memahami, mari kita amati contoh berikut. Kader A mengalami pelecehan seksual pada saat pulang bersama teman seorganisasinya sendiri. Setelah kejadian tersebut kader A membuat laporan dan menyampaikannya pada pihak yang otoritatif dalam menangani kasus tersebut. Namun, sungguh sayang, bahwa ormawanya tak mempunyai regulasi yang mengatur problematika pelecehan seksual. Pihak yang digadang-gadang mampu melindunginya justru tak memberinya tempat aman. Kalaupun ada tindakan, kemungkinan menggunakan ‘hakim sendiri’ atau dialihtugaskan kepada lembaga bantuan hukum di luar instansinya. Proses penanganan yang demikian ini, karena tidak adanya hukum legal, mengakibatkan kader A merasa tidak dihargai [dalam pengertian respek] oleh wadahnya sendiri.⁵

Self respect di atas selain dapat terlecehkan karena tiadanya hukum legal, juga dapat disebabkan oleh ketimpangan hukum. Misalnya, tidak adanya hukum yang memihak korban, dalam arti begini korban tak mendapatkan hak-haknya untuk pulih dalam regulasi tersebut. Mari kembali dalam kasus kader A tadi, adanya aturan yang mengurus bagaimana korban dapat sembuh total seharusnya terdapat dalam regulasi yang ada. Atau tidak diakuinya salah satu hak dalam kasus tersebut juga dapat menurukan self respect seseorang, sebagai contoh pemukulan terhadap pelaku pelecehan seksual. Kendati pelaku pun, ia juga berhak mendapatkan perlindungan hukum agar tak diperlakukan secara sewenang-wenang. Karenanya menjadi jelas bagaiaman hukum itu saling terkait secara resiprokal dengan self respect. Dengan self respect seseorang yang terlibat dalam kasus tertentu menjadi paham hendak berbuat apa dan berani melangkah untuk menempuh jalur hukum demi merengkuh haknya yang direnggut.

Ketiga, solidaritas dan penghargaan diri (self esteem). Berbeda dengan dua unsur sebelumnya, unsur yang terakhir ini sifatnya kolektif. Jadi nilai yang diperoleh berdasarkan shared values. Solidaritas tidak melulu dimengerti sebagai bergerak bersama-sama namun lebih kepada integritas sosial. Bagaiamana satu individu mampu solid dengan yang lainnya secara kolektif dan efisien—tidak ada halangan untuk saling merangkul. Semakin solid ormawa tersebut, kian dihargai kader-kader di dalamnya.

Ketiga unsur konstitutif individu di atas merupakan substituen aktif dalam membentuk identitas personal kita. Artinya ketiganya korelasional dan saling bersinergi satu sama lain untuk mengutuhkan siapa diri kita. Adakah konvergensi di antara ketiganya? Tentu, ada. Bahwa unsur yang satu tak dapat dilepaskan dari yang lain. Apapun aktivitas dan afektifitas yang dilakukan, semuanya hanyalah bentuk solusi modern dari kebutuhan primordial kuno kita, yakni cinta kasih, hukum, dan solidaritas. 

IV. Penutup

Di bagian penutup ini penulis hendak menunjukkan signifikansi dari Teori Pengakuan dan Keadilan (selanjutnya disingkat TPK) Axel Honneth dengan alienasi yang terjadi dalam ormawa. Dengan mengetahui dan memahami TPK, kita dimungkinkan untuk mudah melacak pelbagai masalah relasional yang terjadi dalam ormawa. Misalnya, ada problem ketidaksolidan antar kader, atau frustasinya beberapa kader terhadap wadahnya sendiri. Sembari merujuk kepada TPK, kita dibantu untuk menentukan di mana asal masalahnya kemudian solusi kontekstualnya. Sebagai contoh bilamana masalah yang dihadapi adalah kurangnya chemistry—lemahnya kekeluargaan antar kader—yang mana sikap kader memerlihatkan kurangnya kepercayaan diri untuk membangun relasi lebih intim: maka ada yang bermasalah dengan cinta kasih di dalamnya; atau menurunnya tingkat penghargaan diri pada kader, penyebabnya dapat dipastikan kurangnya solidaritas; dan seterusnya. Lalu, tugas selanjutnya adalah bagaimana mengapropiasi TPK dan merekognisi hak-hak kader. Dengan harapan keadilan, kerukunan, serta produktivitas mampu tercipta dalam ormawa.


Catatan Kaki 

¹Generasi ketiga penerus Teori Kritis Mazhab Frankfurt, Jerman. Lahir di Essen, Jerman, pada tanggal 18 Juli 1949.

²Apabila pihak A membutuhkan A, maka yang dipenuhi yaitu A—sejauh itu sesuai dengan hak A tanpa menciderai hak yang lain. Kalau begitu, tidak tepat bila yang berkebutuhan A justru disediakan ‘tempat’ seperti B.

³Kemampuan individu dalam merealisasikan potensinya.

⁴Bahkan Stirner (1806-1856), seorang egois-anarkis, ketika mewartakan gagasan egoistiknya juga termediasi oleh bahasa. ‘Kumpulan para egois’ yang dibayangkan Stirner pun pada akhirnya juga menunjukkan relasi intersubjektif di situ.

⁵Perbedaan mendasar antara unsur pertama (cinta kasih) dengan yang kedua (regulasi), adalah cinta kasih terjadi secara intensif dalam lingkungan yang relatif kecil, sifatnya pula unik tergantung bagaimana kedekatan di antara mereka terbentuk; sedangkan regulasi disposisinya terhadap lingkungan makro, baik itu organisasi, lembaga, negara, bahkan dunia sekalip un (Setiawan, 2018, p. 14).


Daftar Referensi

Brien, T.O. and Maynooth, N. (2013). "Awakening to Recovery and Honneth’s Theory of Recognition". Adult Learner: The Irish Journal of Adult and Community Education, pp.59–74.

Honneth, A. (1995). The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts. Massachusetts: MIT Press.

Honneth, A.  (2004). Recognition and Justice. Outline of a Plural Theory of Justice. Acta Sociologica, 47(4), pp.763–83.

Setiawan, R. (2018). "Pembentukan Identitas Individu dalam Filsafat Pengakuan Axel Honneth". Jurnal Driyarkara, (3), pp.8–18.

Sitorus, F.K. (2022). Tiga Generasi Teori Kritis Mazhab Frankfurt. In: Cara Kerja Ilmu Filsafat dan Filsafat Ilmu. Jakarta: KPG, pp.317–47.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Bung

Post-Mo : A World We Need

Catatan Hitam, Lembar 1 : Memahami Anarkisme Alexander Berkman