PART•1 | Point Buku Sachiko Murata - The Tao Of Islam
(1) Poin-poin Buku Sachiko Murata-The Tao Of Islam
---
#Bacapelanpelan
1. Tuhan bisa dipahami dari dua sudut pandang. Kita bisa memandang Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri, yang mengesampingkan kosmos. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Tuhan dalam diri-Nya sendiri, "Esensi" (dzat) Tuhan, tidak bisa diketahui. Ini mengantarkan kita pada perspektif ketakterbandingan Tuhan (tanzih). (h. 79)
2. Ada dua perspektif dasar tentang Realitas Ilahi. Misalnya keesahan Tuhan (Tawhid). Di satu sisi kita menegaskan keesaan Allah (Tawhid). Namun, demikian kita juga menegaskan adanya dualitas, bahwa Keesaan Tuhan tidak mampu dijelaskan, sebab Tawhid atas diri-Nya sendiri adalah sebenar-benarnya Tawhid. Jadi, dualitas terjadi ketika kita menegaskan Keesaan Allah dan keesaan Allah hanya ada dalam diri-Nya. (h. 79)
3. Yang dibicarakan di sini adalah polaritas, atau dua dimensi komplementer dari realitas tunggal. Dalam Tao : yin dan yang (h. 79)
4. Dualitas yang dimaksudkan di sini adalah dualitas dalam batasan kesalinghubungan dan polaritas. (h. 80)
5. Untuk bisa memahami Tuhan, kita harus mengerti pada keterbatasan-keterbatasan mengenai ketakterbandingan. Karena itu kita punya dua pengertian memahami Tuhan : Tuhan dalam konsepsi diri kita sendiri, dan Tuhan yang hakiki yang berada jauh di luar konsep diri kita sendiri. (h. 80)
6. Tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui berasal dari penegasan dasar Tawhid : tidak ada Tuhan selain Allah atau tidak ada Yang Hakiki selain Zat Mahahakiki. Maka dengan ini, Realitas Ilahi berada jauh di luar pemahaman realitas makhluk. (h. 80)
7. Jika kita memang bisa mengetahui sesuatu tentang Tuhan, hal itu karena adanya proses emanasi (pancaran) dari Tuhan kepada Alam semesta maupun manusia. Artinya, bahwa manusia dan alam semesta berhubungan dengan Tuhan melalui sifat-sifat Ilahi yang menampakkan jejak-jejak dan tanda-tandanya dalam ekstensi kosmos. Kita tidak bisa mengenal dan mengetahui Tuhan dalam diri-Nya sendiri, tetapi hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos. (h. 80)
8. Dalam konteks Tao, begitu kita menyebut Tao, kita perlu mengetahui dan mengenal Tao dibalik nama-nama, yakni Tao tak ternamai dan Tao tak terpahami. Akan tetapi Tao yang bisa kita namai mengisyaratkan adanya yin dan yang, karena itu kita mulai dengan dualitas ganda : pertama, Tao yang bisa dinamai dan Tao yang tidak bisa dinamai, sementara itu kedua yin dan yang mendefinisikan hukum-hukum berasal dari Tao yang bisa dinamai. (h. 80)
9. Maka dari itu Tuhan yang bisa kita diskusikan adalah Tuhan Yang Maha Esa dalam cara yang bisa kita pahami, atau Tao dalam namanya yang bisa kita pahami. (h. 80)
10. Dengan adanya Tuhan dan Tao yang bisa kita ketahui dan Tuhan dan Tao yang tidak bisa kita ketahui, maka hal ini menyatakan bahwa ada ketakterbandingan dan keserupaan pada dua tatanan yang berbeda. Pertama, kita mengetahui bahwa pengetahuan kita tentang Tuhan masih kurang, yakni bahwa dia tidak bisa dibandingkan dan tidak bisa kita ketahui. Kedua, kita mengetahui sesuatu tentang-Nya yakni bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa menurut pemikiran kita sendiri yang dipancarkan melalui sifat-sifatNya dalam eksistensi alam semesta. (Catatan Pribadi Peneliti)
11. Bagi kebanyakan otoritas muslim, perbedaan antara apa yang bisa diketahui dan apa yang tidak bisa diketahui mengenai Tuhan menandaskan antara Allah dan Esensi Allah. Dalam tradisi Cina atau Taoisme, menyuguhkan kepada kita konsep tentang perbedaan antara "Puncak Tertinggi (Tao) yang tidak bisa diketahui" dan "Kekacauan atau Bukan Puncak yang bisa diketahui". (h. 81)
12. Dua cara yang berbeda ini melihat hubungan antara Allah dan kosmos. Dalam pengertian pertama Allah menciptakan alam semesta dan bisa diketahui melaluinya. Dalam pengertian kedua Allah juga tidak bergantung pada alam semesta serta tidak membutuhkannya. Dia menjaga jarak dari segenap makhluk-Nya lantaran makhluk-makhluk-Nya sama sekali berbeda dari-Nya dan tidak sanggup meliputi realitas-Nya. Dengan tegas hal ini menandakan bahwa Esensi sebagai Esensi sama sekali tidak ada hubungan dengan seseorang atau sesuatu apapun. (h. 81)
13. Hubungan yang terjadi antara Allah dan kosmos, nama-nama dan sifat-sifat Allah yang bertentangan, maupun nama-nama ilahi itu sendiri yang berlawanan seringkali dianalogikan seperti hubungan antara yin dan yang. (h. 81)
14. Dua realitas primer adalah Allah dan kosmos. (h. 81)
15. Hubungan keserupaan dan ketakterbandingan, dapat digambarkan melalui perbedaan antara Allah dan kosmos. Pertama, Allah dapat diserupakan dengan kosmos, hal ini dapat dilihat bahwa kehidupan dalam kosmos asalnya berasal dari kehidupan Allah, pengetahuan yang ada dalam alam semesta berasal dari pengetahuan-Nya, cinta mereka berasal dari cinta-Nya, kekuasaan mereka berasal dari kekuasaan-Nya. Kedua, Allah memiliki ketakterbandingannya dengan kosmos, hal ini dapat dilihat bahwa ada sifat-sifat Allah yang sama sekali tidak berhubungan langsung dengan kosmos. Misalnya dalam QS. Ali-Imran ayat 97 dinyatakan bahwa Allah "tidak bergantung pada seluruh alam". Namun, tidak ada sesuatu pun di kosmos ini yang tidak bergantung kepada Allah. (h. 82)
16. Dalam QS. Asy-Syuara ayat 11 dinyatakan bahwa "Tidak ada sesuatu pun serupa dengan-Nya" ayat ini menjelaskan bahwa ada prinsip ketakterbandingan Tuhan yang tidak dapat serupa dengan apapun. Artinya, jika tidak ada yang serupa dengan-Nya, maka kita tak punya jalan atau cara untuk memahami-Nya. (h. 83)
17. Jika kita melihat deskripsi tentang Allah yang dikemukakan oleh Al-Qur'an dari sudut pandang ketakterbandingan, maka kita pun mengetahui bahwa "Segala sesuatu bakal binasa dan musnah, kecuali wajah-Nya" (QS. Al-Qasas ayat 88) dan ini menandakan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tak hakiki. (h. 83)
18. Kaum sufi menerima adanya ketakterbandingan dan mengedepankan keserupaan Tuhan dalam dimensi ibadah. Tetapi mereka juga menolak ketakterbandingan sebagai satu-satunya pandangan yang sahih. (h. 83)
19. Al-Qur'an juga berbicara tentang keserupaan dan kedekatan Allah, ia tak hanya bicara soal ketakterbandingan Tuhan di dalamnya, tetapi juga Tuhan senantiasa ada dan hadir bersama hamba-hamba-Nya, hal ini karena rahmat dan kemurahan Ilahi. (h. 84)
20. Nama-nama Ilahi tentang keserupaan dan kedekatan Allah kepada hamba-hamba-Nya jauh lebih banyak disebutkan dalam Al-Qur'an daripada nama-nama ketakterbandingan-Nya. Misalnya, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Baik, Maha Pengampun. Dalam QS. Al-Hadid ayat 4 dijelaskan "Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada". Atau QS. Qaf ayat 16 "Dia lebih dekat kepada dirimu ketimbang urat lehermu sendiri". Dan QS. Al-Baqarah ayat 115 "Ke mana pun kamu berpaling dan menghadap, di situlah wajah Allah". Keserupaan dan kedekatan nama-nama Ilahi Allah mengajak manusia untuk memiliki hubungan erat dengan diri-Nya seperti : munajat, doa, ajakan kebaikan, rahmat, ampunan, dan kemurahan Allah. (h. 84)
21. Memahami Allah sebagai yang jauh melalui kebesaran, kekuasaan, keagungan, kesucian-Nya berarti memahami dirinya sebagai unsur Yang dalam konsep yin dan yang. Sebaliknya, memahami diri-Nya sebagai penuh kasih, rahmat, dekat, pemurah, dan pemaaf sama artinya dengan memahami diri-Nya sebagai unsur Yin, yang bersifat reseptif (menerima, terbuka) pada berbagai keinginan dan keperluan kita. Intinya bahwa, nama-nama ketakterbandingan Ilahi diumpamakan seperti Yang (nama yang jauh dan tak bisa dijangkau oleh sesuatu apapun), sedangkan nama-nama keserupaan Ilahi diumpamakan seperti Yin (nama yang dekat dengan kosmos dan manusia). (h. 84)
22. Akan tetapi, orang-orang Muslim yang sangat menekankan keserupaan biasanya lebih mengutamakan ketakterbandingan Tuhan. Mereka melakukan ini, untuk mencegah dari timbulnya penyimpangan norma-norma Islam. (h. 85)
23. Kaum sufi adalah orang yang pertama menunjukkan bahwa manusia mesti dan perlu mempertimbangkan batasan-batasan yang mengendalikan dan menguasai seluruh makhluk. Manusia pertama-tama harus memahami kelemahan dan ketidakmampuannya sendiri, kenisbian dirinya di hadapan sesuatu yang mutlak. Sebab, dimensi dalam Islam menekankan ketakterbandingan terdahulu lalu kemudian menekankan dimensi keserupaan. Oleh sebab itu, fungsi syariat dibuat dengan landasan kekuasaan, otoritas yang menyeluruh tentang Allah supaya pengamalan pada syariat benfungsi sebagai fondasi bagi jalan menuju Allah. (h. 85)
24. Hubungan Yin dan Yang memiliki relevansi dengan teologi Islam, hal ini bisa digambarkan dengan misi manusia sebagai khalifah atau hamba Allah. Misinya sebagai khalifah dapat ditinjau, bahwa Yin memanifestasikan sebagai keserupaan (lebih dekat), hal ini digambarkan dengan manusia masih memiliki hubungannya dengan Allah. Sedangkan unsur Yang memanifestasikan sebagai ketakterbandingan (lebih jauh), digambarkan dengan manusia menempati kedudukan Allah. Sebab nama-nama atau sifat-sifat Ilahi Allah juga ada dalam diri manusia. Sedangkan misinya sebagai hamba Allah dapat ditinjau bahwa Yin memanifestasikan sebagai keserupaan (lebih dekat), hal ini digambarkan dengan kualitas-kualitas manusia yang dominan, sebab manusia adalah hamba ('abd). Sedangkan, unsur Yang memanifestasikan sebagai ketakterbandingan (lebih jauh), digambarkan dengan manusia melaksanakan syariat-Nya untuk tunduk (Islam) pada kehendak Allah. Hubungan Yang yang baik juga berpotensi terjadi melaksanakan dua hal, karena manusia sebagai amanat Ilahi dan khalifatullah fill 'ard memiliki kebebasan (mengemban amanat ilahi atau berbuat sewenang-wenang). Oleh sebab itu manusia memiliki kemampuan untuk memuliakan atau menghinakan, mempertahankan atau menghancurkan alam semesta. (h. 85)
25. Allah adalah Yang dan manusia adalah Yin secara universal. Akan tetapi, bahwa manusia bisa menjadi Yang sebagai wakil Allah (khalifatullah) kadang-kadang dipandang dengan penuh kecurigaan, sebab kecurigaan ini membuka kemungkinan bagi pengagungan diri dan kekacauan psikologis dan kekacauan sosial (konsep Yang, yang bersifat negatif). (h. 86)
26. Menurut Ibn Al-'Arabi, misi penghambaan manusia ('abd) jauh lebih tinggi derajatnya dibanding misi manusia sebagai wakil Allah (khalifatullah). Sebab, penghambaan sempurna menuntut adanya kerendahan diri, peniadaan diri secara menyeluruh dihadapan Sesuatu yang benar-benar hakiki. (h. 86)
27. Yin dan Yang dalam eksistensi manusia bisa dilihat dalam hubungannya dengan sifat-sifat kekhalifahan dan penghambaan. Dalam penghambaan, Allah adalah Maha besar (Yang) sedangkan manusia adalah kecil (Yin). Sedang dalam kekhalifahan, manusia adalah Raja yang mengatur (Yang) sedangkan kosmos adalah hamba yang diatur (Yin). Sedang dalam konteks universal, Allah adalah Yang dalam dirinya, sedangkan manusia adalah Yin dalam dirinya. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa penghambaan berakar pada ketakterbandingan Ilahi (Yang). Sedangkan kekhalifahan berakar pada keserupaan Ilahi (Yin). (h. 86)
28. Dalam nama-nama Ilahi yang saling melengkapi : terdapat nama-nama yang berlawanan yang sebenarnya justru saling melengkapi. Misalnya Maha Pengasih (Yin) dan Maha Pemurka (Yang), Maha Lembut (Yin) dan Maha Keras (Yang). Dan ini tergantung dari cara kerja bagaimana manusia melakukan sesuatu. Tetapi dalam hadis sahih disebutkan bahwa "Rahmat Allah mendahului Kemurkaa Allah". Artinya ketika manusia berbuat kerusakan di muka bumi, maka akan dibalas melalui tindakan Allah yang mengandung kemurkaan. Tetapi sesungguhnya kemurkaan itu justru mengandung rahmat, supaya manusia itu sadar akan kesalahan apa yang ia perbuat. Seperti misalnya, kemarahan seorang ayah pada anak justru sebetulnya mengandung cinta dan kasih sayang. (h. 87)
29. Tetapi rahmat juga dapat dibedakan antara rahmat primer Allah yang disebut rahmat dari Zat Yang Maha Pengasih (al-rahman), dan rahmat sekunder Allah, yang disebut rahmat dari Zat Yang Maha Penyayang (al-rahim). (h. 87)
30. Nama-nama yang lebih berkaitan dengan sisi Yin atau reseptif (bersifat menerima/terbuka) berhubungan dengan kualitas-kualitas feminim : cinta, keindahan, dan kasih sayang. Sedangkan nama-nama yang berkaitan dengan sisi Yang berhubungan dengan kualitas-kualitas maskulin : mendominasi, menguasai, kuat. Kedua sisi ini tak bisa dipisahkan satu sama lain. Keindahan punya keagunganya sendiri, dan keagungan punya keindahannya sendiri. Sebab kedua hubungan ini bersifat komplementer, cair dan luwes. (h. 88)
31. Hubungan itu bersifat polar dan terbagi menjadi dua bagian, yakni hubungan horizontal yang terjadi di antara diri makhluk-makhluk dan hubungan vertikal yang terjadi di antara eksistensi yang berbeda dalam dunia yang berbeda pula, entah dalam makrokosmos atau mikrokosmos. Hubungan horizontal yang terjadi dalam diri manusia, misalnya manusia bisa mempunyai sifat pengasih dan pemurka, pemaaf dan pendendam yang bergantung pada situasi dan kondisi. Sedangkan hubungan vertikal misalnya terjadi antara ruh dan raga, ruh sifatnya terang dan raga sifatnya gelap, ruh kedudukannya lebih tinggi sedangkan raga kedudukannya lebih rendah. Hubungan-hubungan inilah yang seharusnya dipahami untuk menunjukkan suatu hubungan yang koheren (bersangkut-paut). (h. 88-89)
32. Allah dan Hamba-Nya : ketakterpisahan Allah dan kosmos menyebabkan Ibn Al-'Arabi membedakan dua makna fundamental dalam kata 'Allah'. (1) Allah dalam diri-Nya sendiri-yakni Esensi yang tidak bisa dibandingkan bahwa Dia "tidak bergantung kepada seluruh alam". (2) Allah dalam nama-nama Ilahi mensyaratkan adanya kebersatuan antara diri-Nya dengan kosmos. Dalam hal ini, Allah menuntut hamba-Nya untuk menghormati diri-Nya sebagai Tuhan. (h. 89)
33. Hubungan primer antara Allah dan hamba Ilahi adalah hubungan langit dan bumi, maskulin dan feminim, ruh dan jiwa, Yang dan Yin. Allah adalah besar, tinggi, terang, dan kreatif. Sementara itu, makhluk adalah kecil, rendah, gelap, dan reseptif. Dalam kosmologi Taoisme, Allah adalah Yang sedangkan kosmos adalah Yin. (h. 89-90)
34. Yang bertindak dan Yin menerima. Maka begitu pulalah Yin melalui reseptivitasnya bertindak atas Yang, dan Yang melalui aktivitasnya menerima aktivitas Yin. Simbol Yin dan Yang menunjukkan kesalinghubungan antara titik putih di atas titik hitam, dan titik hitam di atas titik putih. Tidak ada sesuatu yang mutlak, manakala kedua sisi itu saling bergantung satu sama lain. Allah memerlukan sang hamba jika Dia harus menjadi Tuhan, dan sang hamba memerlukan Allah jika dia harus menjadi hamba. (h. 90)
35. Karena sang hamba menjadikan Allah sebagai Tuhan, maka Tuhan pun kena tindakan oleh sang hamba. Karena itu, Allah adalah Yin dan sang hamba adalah Yang. Kesalinghubungan Yin dan Yang ini sudah terjalin dalam Tao yang ternamai (keserupaan Ilahi). Hanya Tao yang tidak ternamai, yang menempatkan bahwa Esensi itu adalah sendiri, yang tidak bergantung pada seluruh alam (ketakterbandingan Ilahi). Allah sebagai yang sama sekali tidak bisa dibandingkan. (h. 90-91)
36. Yang Satu dan Yang Dua : Allah adalah satu sebagai Ketunggalan dari Satu/Esensi (ahadiyyat al-ahad), tapi segala sesuatu selain Allah adalah dua, tiga, atau lebih sebagai Ketunggalan dari Banyak (ahadiyyat al-katsrah). (h. 91)
37. Segala sesuatu yang ada di bawah Allah adalah "pasangan dari segala jenis," karena Dia adalah Zat Maha Esa, Unik, Mahaabadi, "yang tidak melahirkan maupun dilahirkan" (QS. Al-Ikhlas ayat 3). (h. 92)
38. Allah adalah satu, dan segala sesuatu selain Allah adalah dua, tiga atau lebih. Akan tetapi, karena segala sesuatu serupa dengan Allah, maka semuanya itu mengambil kesatuan tertentu. (h. 92)
39. Dalam dualitas Yin dan Yang. Yin dan Yang melahirkan Sepuluh Ribu Hal melalui prinsip-prinsip pertengahan, yang direpresentasikan dalam I Ching dengan delapan trigram dan enam puluh empat heksagram. Dalam semua kasus, Yin dan Yang sudah berakar, dan dualitas fundamental ini pada gilirannya memanifestasikan Tao. (h. 92)
40. Allah adalah benar-benar satu dan tunggal dalam segala hal dan makna. Karenanya, tidaklah dimungkinkan sesuatu yang diciptakan akan benar-benar bersifat satu dan tunggal. Inilah sebab dari segala sebab. Realitasnya tidak satu. Tidak, di dalamnya ada dualitas tertentu. Karena itu, dikatakan bahwa Dia menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, dan menjadikannya sebagai prinsip-prinsip bagi segala sesuatu yang ada, sumber bagi segala sesuatu yang tercipta. (h. 92)
41. Secara analogis, sebagian besar hal-hal yang bersifat alami dijumpai dalam keadaan berpasang-pasangan atau mempunyai lawan (kontradiktif dan polaritas), hal ini misalnya tampak dari lembut dan kasar, gerak dan diam, terang dan gelap, jiwa dan ruh, serta termasuk di dalamnya laki-laki dan perempuan. Hal ini telah termaktub dalam QS. Hud ayat 40 "Segala jenis yang berpasangan". Maka dari itu, Yin dan Yang bisa termanifestasikan dalam hal apapun, mulai dari Allah (Yang) dan manusia (Yin), termasuk Laki-laki dan Perempuan yang keduanya mempunyai sifat-sifat Yin dan Yang dalam relasi gender yang dapat dipertukarkan. (h. 93)
42. Penciptaan dan Kemajemukan : pada tahap Puncak Tertinggi, Yin dan Yang saling berpadu dan tidak bisa menampakkan sifat-sifatnya yang terpisah. (h. 93)
43. Begitu Yin dan Yang mulai menampakkan sifat-sifatnya yang terpisah, keduanya melahirkan Sepuluh Ribu Hal. Dengan demikian, Tao mengungkapkan dirinya dam segala sesuatu melalui Yin dan Yang. Begitu pula, ketika Allah ingin membedakan antara nama-nama dan mengemukakan sifat-sifat spesifik-Nya yang bersifat majemuk, polaritas, dan kontradiktif. (h. 94)
44. Agar nama-nama ini diketahui, maka harus ada kemajemukan (kontras, polar/Yin dan Yang), sebab tidak ada nama yang berbeda dari nama lainnya pada tataran Kesatuan mutlak (Allah/Tao). Melalui kemajemukan, masing-masing nama bisa memanifestasikan sifat-sifatnya sendiri yang berbeda dari sifat-sifat berbagai nama lainnya. (h. 94)
46. Allah berfirman, "Aku adalah Khazanah Tersembunyi. Karena itu, Aku ingin diketahui." Dalam ujaran lain, Allah mengatakan "Aku menciptakan seluruh alam semesta, dan tujuannya ialah menampakkan diri-Ku, kadang-kadang melalui kelembutan dan kadang-kadang melalui kekerasan." (h. 95)
47. Pembedaan dari Yang Tak-Terbedakan : Dalam diri Allah, nama-nama itu tak terbedakan (ijmaal), sementara dalam kosmos sifat-sifat dari berbagai nama itu muncul dalam bentuk yang dibedakan (tafshiil). (h. 95)
48. Para pengikut Ibn Arabi menyebut bahwa perbedaan disebut dengan istilah ahadiyyah (Kesatuan Ekslusif) dan wahidiyyah (Kesatuan Inklusif). Kesatuan Ekslusif mengacu pada realitas Allah dalam diri-Nya sediri. Sementara kesatuan inklusif merujuk pada Allah yang digambarkan sebagai sumber kosmos. (h. 95-96)
49. Kerja sang Pembeda adalah menganugerahkan eksistensi atas segala entitas, memungkinkan semua warna menampakkan diri secara individual. Dalam diri Zat Mahahakiki, segala sesuatu adalah satu, tapi dalam manifestasi, masing-masing entitas memiliki eksistensi spesifiknya sendiri. Melalui sang Pembeda, kemajemukan pun diaktualisasikan. Intinya antara Pembedaan dan Tak-Terbedakan adalah bahwa dalam Satu (Zat Mahahakiki) segala sesuatu itu tak terbedakan, sementara dalam kosmos, segala sesuatu itu dibedakan. (h. 96-97)
50. Tak terbedakan (penyamaan) dan pembedaan sejajar dengan prinsip Yang dan Yin. Penyamaan diidentifikasikan sebagai Yang, yakni dimensi realitas yang lebih tinggi, lebih kuat, lebih terang, dan lebih dahulu. Akan tetapi, ia mampu memanifestasikan dirinya melalui Pembedaan sebagai identifikasi dari Yin, yakni dimensi realitas yang lebih rendah, lebih lemah, lebih gelap, dan bersifat reseptif atas aktivitasnya. Namun kedua sifat Yin dan Yang dalam Penyamaan dan Pembedaan dapat dipertimbangkan untuk dipertukarkan, bukan nilai mutlak apapun yang mencirikan salah satunya. (h. 97)
51. Hubungan antara Allah dan Kosmos sebagai serangkaian hubungan Yin dan Yang. (h. 97)
52. Kami telah menunjukkan bahwa Entifikasi Pertama dan Pengungkapan diri mempunyai kesatuan, keserbameliputan, dan kesamaan hakiki. Akan tetapi, penyamaan dan keserbameliputan ini relatif terbedakan, sebab di dalamnya ada modus-modus Kesatuan Inklusif. (h. 98)
---
Komentar
Posting Komentar